ZONA PRIANGAN - Posisi Google sebagai domain nomor wahid yang telah dipegangnya selama 15 tahun akhirnya tumbang juga di tangan TikTok.
Jika sebelumnya orang banyak mengakses Google guna melakukan pencarian informasi. Kini, kebiasaan audiens telah bergeser, sekarang lebih banyak mengakses situs yang kontennya lebih ke entertainment alias hiburan.
Jadi wajar saja jika TikTok sukses untuk menurunkan raksasa teknologi asal Kota Mountain View itu untuk turun dari tampuk pimpinan.
"Supremasi Google sbg domain nomor wahid selama 15 tahun terakhir, akhirnya tumbang," tulis Kris Moerwanto di akun Instagram pribadinya @kris.moerwanto pada Sabtu, 8 Januari 2022.
"Secara mengejutkan TikTok berhasil menggusurnya," tambahnya.
Aplikasi yang dikembangkan oleh ByteDance itu telah menjelma menjadi website terpopuler dan menjadikannya sebagai platform dengan traffic terbanyak di dunia.
"TikTok skrg dinobatkan sbg website terpopuler. Sekaligus mnjd platform dg traffic terbanyak sedunia, versi Cloudflare," ujarnya.
"Aplikasi berbagi video besutan perusahaan Bytedance Cina itu, sekaligus mnjd situs dg engagement rate paling intens," katanya.
Traffic TikTok memang gila-gilaan, penggunanya yang telah tembus sebanyak satu miliar dan tersebar di 141 negara serta 39 bahasa.
"Dlm sehari, semiliar pengguna aktif TikTok di 141 negara dg 39 bahasa (60%-nya perempuan), menghabiskan waktu rata2 52 menit," jelasnya.
"Tergusurnya Google memicu kegemparan.
Krn reputasi Google (yg identik sbg “sumber rujukan informasi terpercaya”), selama 15 thn nyaris tak tertandingi".
Menurut Kris Moerwanto, kekalahan Google sangat tragis, di mana raksasa mesin pencari itu kalah oleh perusahaan yang berdiri belum genap 5 tahun.
Baca Juga: Kucing Putih Ngamuk Gara-Gara Dipanggil 'Anak Pungut' oleh Majikannya, FYP di TikTok
"Tapi Google tumbang, justru oleh apps yg blm genap 5 thn, yg cenderung diremehkan, & tidak dianggap sbg ancaman langsung," ungkapnya.
"Yg selama ini dicatat sbg keunggulan Google, adalah aspek fact-checking. Kontennya terverifikasi.
Kriteria sumbernya berotoritas. Berbasis sistem rekomendasi ketat".
Lebih lanjut, Kris Moerwanto melihat TikTok sebagai aplikasi yang lebih mengedepankan sisi hiburannya daripada aspek konten yang terverifikasi.
"Itu beda dg konten TikTok, yg lbh berorientasi skdr tontonan hiburan. Dari video nyanyi, joget2, komedi, prank, challenge, hingga tutorial dan resep masakan," kata Kris Moerwanto.
"Algoritma TikTok mmg lbh mementingkan kesesuaian thdp profil audiens. Mengutamakan relevansi konten thdp minat & preferensi pengguna," tambahnya.
Jadi, membandingkan Google dengan TikTok sama artinya dengan membandingkan algoritma pengontrol kualitas otoritas bersaing dengan platform yang lebih mementingkan asal platformnya rame, terlepas berkualitas atau tidak.
"Pendeknya, membandingkan Google thdp TikTok, ibarat membandingkan algoritma pengontrol authority-quality, versus platform yg mementingkan “pokoknya rame”," ujarnya.
"Makanya, keberhasilan TikTok mengungguli Google, dianggap penanda penting:
Bahwa perilaku audiens dlm mencari dan mengonsumsi informasi, sdh berubah drastis.
Ada kesan, skrg audiens tdk peduli ttg authority, hierarchy, apalagi mutu informasi".
"Walau receh, yg penting konten bs bikin terhibur".
"Ini mirip2 sikon yg digambarkan di buku The Death of Expertise.
Dimana audiens tdk lg merasa perlu merujuk kebenaran bermutu dari sumber berotoritas," ungkapnya.
"Bhkn pendapat pakar pun ditolak.
Pokoknya, yg tdk sesuai keyakinannya, scr apriori diabaikan".
"Apakah keunggulan TikTok masih berlanjut selama 2022?
Bgmn dampak pergeseran preferensi & mutu sumber informasi yg makin berubah skrg?
Kita harus ikuti kelanjutannya," pungkasnya.***