Tragedi Stadion Kanjuruhan: Gas Air Mata dan Gerbang Terkunci Menjadi Penyebab Banyak Penonton Terinjak-injak

5 Oktober 2022, 12:00 WIB
Plakat dan lilin dipotret saat berjaga di Stadion Patriot Candrabhaga, setelah kerusuhan dan penyerbuan di Stadion Kanjuruhan usai pertandingan sepak bola antara Arema vs Persebaya Surabaya, di Bekasi, di pinggiran Jakarta, Indonesia, 3 Oktober 2022. /REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana

ZONA PRIANGAN - Pertandingan derby antara Arema FC vs Persebaya menjadi pengalaman yang tak terlupakan di sepanjang hidupnya bagi Ahmad Nizar Habibi.

Betapa tidak, pria berusia 29 tahun itu memiliki firasat bahwa segala sesuatunya akan berubah menjadi sesuatu yang buruk.

"Saya ingin pergi, tapi tiba-tiba saya mendengar ledakan," katanya, menggambarkan putaran gas air mata yang ditembakkan saat pertandingan Sabtu malam dan para penggemar menyerbu ke tengah lapangan, meluapkan kemarahannya atas kekalahan yang diderita oleh tim tuan rumah.

Baca Juga: MotoGP Thailand 2022: Miguel Oliveira Raih Podium Keduanya Musim Ini, Persaingan Juara Dunia Semakin Ketat

"Kami tidak bisa melihat. Para penggemar berteriak dan kami tidak bisa bernapas," kata Habibi.

Kekacauan yang meletus di negara kawasan Asia Tenggara yang gila sepak bola itu menyebabkan 125 orang tewas dan lebih dari 400 orang terluka, membuat kota yang sepi di pulau utama Jawa itu kaget dan berduka.

Dinas Kesehatan setempat menyebutkan jumlah korban tewas sebanyak 131 orang. Korbannya sebagian besar adalah suporter tim setempat Arema FC di Malang.

Baca Juga: Argentina Kalahkan Jamaika di Pertandingan Pemanasan Piala Dunia di New Jersey, Messi Menyumbang Dua Gol

Menurut komentar dari penonton, polisi, dan pakar yang berbicara kepada Reuters, serta rekaman video, menunjukkan bahwa bencana itu disebabkan oleh berbagai faktor yakni jumlah penonton yang melebihi kapasitas stadion.

Faktor lainnya termasuk penggemar yang marah, tembakan gas air mata oleh polisi dan yang lebih tragisnya lagi, ditemukan fakta bahwa beberapa pintu akses keluar stadion dalam keadaan terkunci.

Erwin Tobing, Ketua Komite Disiplin Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Selasa mengatakan, petugas keamanan Arema dan ketua panitia akan dijatuhi hukuman larangan untuk terlibat dalam dunia olahraga selama seumur hidup.

Baca Juga: Novak Djokovic Memimpikan Saat Pensiunnya Kelak seperti Perpisahan Emosional Roger Federer

Selain itu, klub Arema didenda sebesar Rp250 juta.

Penggunaan gas air mata, tindakan pengendalian massa yang dilarang oleh badan sepak bola dunia FIFA, telah mendapat sorotan dan polisi mengatakan keputusan untuk melakukannya adalah salah satu masalah yang sedang diselidiki.

Yusuf Kurniawan, seorang komentator sepak bola yang dihormati di Indonesia, mengatakan bahwa gas air mata ditembakkan untuk membubarkan para penggemar yang telah menyerbu lapangan, gas air mata itu melayang ke tribun.

"Orang-orang panik dan tercekik saat mereka berjuang untuk menemukan jalan keluar," katanya.

Baca Juga: Demi Menyukseskan Piala Dunia 2022, Qatar Menerapkan Wajib Militer kepada Warga Sipil

Beberapa penonton mengatakan setidaknya tiga pintu keluar di Stadion Kanjuruhan terkunci pada Sabtu malam, yang menyebabkan banyak yang meninggal karena terinjak-injak. Sebagian besar kematian terjadi di dekat Gerbang 13 stadion, salah satu gerbang yang terkunci, kata beberapa orang penonton.

Albertus Wahyurudhanto, seorang komisaris pengawas komisi kepolisian nasional, mengatakan pada hari Selasa bahwa beberapa pintu keluar dikunci tetapi tidak jelas siapa yang menguncinya dan mengapa. Dia mengatakan tidak ada perintah untuk menggunakan gas air mata.

Seorang direktur dari PT Liga Indonesia, liga sepak bola domestik, menolak berkomentar karena penyelidikan sedang berlangsung. Seorang juru bicara Arema FC tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.

Baca Juga: Novak Djokovic Bermasalah dengan Pergelangan Tangannya selama Berlaga di Laver Cup di London

Juru bicara Kapolri dan Kapolda Jawa Timur menolak untuk menjawab pertanyaan tentang langkah-langkah keamanan, tetapi pada hari Senin, sebanyak 10 petugas telah diskors sambil menunggu proses penyelidikan.

"Kami mendengar pintu ditutup, atau beberapa pintu, dan banyak orang tidak bisa keluar, jadi saya memutuskan untuk menunggu. Saya tidak bisa bernapas dan mata saya sakit," kata Haura, seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang katanya pingsan di tribun. 

Petugas medis mengatakan orang-orang yang terperangkap dalam peristiwa itu sebagian besar meninggal karena mati lemas dan cedera di bagian kepala, sementara para pejabat telah mengkonfirmasi bahwa 33 anak di bawah umur termasuk di antara yang tewas.

Baca Juga: Pelari Kenya Eliud Kipchoge Memecahkan Rekor Dunia atas Namanya Sendiri di Berlin Marathon

"Kami salah," kata Habibi tentang para penggemar Arema yang marah yang mengalir ke lapangan dan melemparkan batu, dan kemudian membakar mobil polisi di luar stadion.

"Tapi apa yang dilakukan polisi juga salah," tambahnya.

Beberapa penonton mengatakan bahwa polisi menembakkan gas air mata langsung ke tribun penonton, sementara rekaman menunjukkan petugas menendang dan memukuli penggemar dengan tongkat.

Baca Juga: DFB Janjikan Bonus 400 Ribu Euro untuk Masing-Masing Pemain Jerman jika Menjuarai Piala Dunia 2022 Qatar

Kesalahan kolektif
Dengan negara yang mencari jawaban, sorotan ada pada polisi, tetapi para ahli mengatakan gambaran sebenarnya lebih rumit.

Dalam upaya untuk menghindari risiko, polisi telah melarang fans dari pihak rival Persebaya Surabaya untuk menghadiri dan meminta pertandingan "berisiko tinggi" diadakan pada siang hari, ketika pemolisian lebih mudah, menurut Akmal Marhali, koordinator organisasi pengawas sepak bola swasta, Save Our Soccer (SOS).

Surabaya berjarak sekitar 100 km ke arah utara Malang dan pertandingan antara kedua tim Jawa Timur itu sering kali berlangsung menegangkan.

Baca Juga: Novak Djokovic Belum Berencana Gantung Raket, Dirinya Mengaku Belum Merasa Cukup Tua

Akmal mengatakan pertandingan berlangsung pada malam hari dengan penyelenggara mencetak 42.000 tiket untuk stadion yang dirancang hanya untuk menampung 38.000 penonton. Namun tidak ada tiket yang dijual kepada fans Persebaya, kata polisi.

"Kita tidak bisa hanya menyalahkan polisi. Ini kesalahan kolektif," kata Akmal.

Pada pertandingan tersebut, Arema sempat tertinggal dua gol dari Persebaya di babak pertama, namun berhasil menyamakan kedudukan sebelum turun minum. Tim tuan rumah kebobolan di awal babak kedua, dan kekalahan 3-2 dari rival sengitnya di kandang sendiri adalah yang pertama dalam kurun waktu 23 tahun.

Baca Juga: Mesir Ingin Menjadi Tuan Rumah Olimpiade 2036, Bersaing dengan Jerman, Meksiko, Turki, Rusia, India dan Qatar

Dari rekaman video, terlihat penggemar tuan rumah berkerumun ke lapangan saat pertandingan berakhir, sementara para pemain bergegas masuk ke ruang ganti.

Awang, penggemar Arema FC berusia 52 tahun, mengatakan dia memutuskan untuk keluar stadion sebelum peluit panjang dibunyikan. Dia mengatakan dia berlindung di toko terdekat saat kekacauan terjadi, dan kembali ke stadion setelah kekacauan mereda.

"Apa yang saya lihat sangat mengerikan. Ada mayat di musala, 17 mayat yang saya ingat," katanya.

Baca Juga: Nadal Mundur dari Laver Cup setelah Bermain Ganda dengan Federer

"Banyak rekan pendukung saya yang menangis histeris," tambahnya.

Bencana stadion yang menelan banyak korban dalam 60 tahun terakhir. Reuters

Hooliganisme dan kekerasan sepakbola bukanlah hal baru di Indonesia. Data SOS menunjukkan bahwa 86 orang telah tewas dalam kekerasan terkait sepak bola di Indonesia sejak 1995, tetapi parahnya tragedi terbaru telah mengejutkan bangsa.

Kurniawan, komentator, mengatakan pada masa lalu kekerasan dalam pertandingan sepak bola gagal membawa perubahan, tetapi kali ini harus berbeda.

Baca Juga: Francesco Bagnaia Raih Pole Position di Grand Prix Aragon, Aleix Espargaro dan Fabio Quartararo di Baris Dua

"Mentalitas kita perlu diubah karena mengelola sepak bola seperti mengelola negara. Ini adalah cermin, potret bangsa kita," katanya.***

Editor: Toni Irawan

Sumber: Reuters

Tags

Terkini

Terpopuler