Sebutan China Dianggap Merendahkan, Orang Tiongkok Lebih Suka Kata Chinese

- 1 Maret 2021, 09:06 WIB
Seorang warga China melakukan sembahyang di kelenteng.*
Seorang warga China melakukan sembahyang di kelenteng.* /Reuters/

ZONA PRIANGAN - Penggunaan kata ‘Tionghoa’ resmi digunakan pada tahun 2014, tetapi diperlukan keputusan presiden di tengah kontroversi yang cukup besar.

Akan tetapi, seperti dilansir laman South China Morning Post (SCMP) 27 Februari 2021, tren penggunaan Tionghoa semakin populer di kalangan kelas menengah Indonesia.

Saat Presiden Jokowi memberikan ucapan Tahun Baru Imlek kepada komunitas China di Indonesia, dia menyebut mereka sebagai ‘orang Tionghoa’.

Baca Juga: Hanya Terjadi di Kota Bandung, PPKM Diartikan Pembiaran Pedagang Kumpul Merajalela

Kata Tionghoa digunakan di negara Asia Tenggara untuk menggambarkan kelompok etnis minoritas China.

Di Indonesia sudah diresmikan istilah Tiongkok untuk menyebut China. Sementara Tionghoa untuk etnis China.

Akan tetapi, sepanjang sejarah Indonesia, kata itu juga digunakan untuk merendahkan dan menyiratkan bahwa orang Indonesia Tionghoa adalah orang asing.

Baca Juga: Makam Besar Tan Sam Cay Kong Selalu Menarik Perhatian, Ternyata Punya Nama Muslim Mohammad Syafi’i

Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu dipandang sebagai langkah bijak dalam melindungi hak-hak masyarakat Tionghoa—yang mencakup 4 hingga 5 persen dari 270 juta penduduk Indonesia.

Namun, keadaan berubah secara tak terduga ketika para ahli bahasa memperdebatkan apakah bahasa Indonesia harus tunduk pada apa yang dianggap banyak orang sebagai masalah politik.

Pemerintah China juga terlihat ikut campur dalam perdebatan.

Baca Juga: Cirebon Pernah Penuh Sesak oleh 200.000 Pelayat saat Pemakaman Majoor Tan Tjin Kie

Yos Wibisono, sejarawan bahasa dan mantan jurnalis Radio Nederland mengungkapkan, Kedutaan Besar China di Jakarta mencoba menekan pemerintah dan media.

Kedutaan Besar China meminta untuk tidak menggunakan istilah 'China' di depan umum.

Media kita, kecuali Tempo—yang sampai sekarang masih menggunakan 'Cina' atau 'China'—akhirnya menuruti permintaan tersebut,” kata Yos Wibisono.

Baca Juga: Saat Telanjang, Cewek Ini Tidak Membutuhkan Baju, Cukup Menutup Tubuh dengan Rambut Panjangnya

Dilansir dari scmp.com, Minggu 28 Februari 2021, Tan Qingsheng, seorang pejabat senior di Kemenlu Tiongkok, pernah berkata: “Kata 'China' membangkitkan kenangan buruk bagi orang-orang Tionghoa.

Selama kependudukan Jepang di China, mereka menggunakan kata itu untuk menghina kami [referensi ke istilah Jepang kuno 'Shina', yang sekarang dipandang sebagai hinaan].”

Kelompok perwakilan seperti Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) telah lama mengkampanyekan penggunaan “Tiongkok” dan “Tionghoa” yang diturunkan dari bahasa Hokkien.

Baca Juga: Ditanya Sudah Sunat atau Belum, Jawaban Deddy Corbuzier Ini Sangat Menohok

Banyak orang Indonesia-Tionghoa adalah keturunan imigran yang datang dari provinsi Tiongkok seperti Fujian dan Guangdong, yang berpendapat bahwa “China” membawa stigma dan trauma terkait dengan praktik diskriminasi terhadap orang Indonesia-Tionghoa.

Sisi historis

Dalam wawancara tahun 2014, Asvi Warman, seorang sejarawan Indonesia, membenarkan aspek penggunaan kata tersebut, terutama selama pemerintahan Presiden Soeharto dari tahun 1967 hingga 1998.

Baca Juga: Ariel Noah Bikin Pengakuan Mengejutkan, Pernah Melakukan Perbuatan Dosa

Selama periode tersebut, orang Indonesia-Tionghoa diwajibkan untuk mengubah nama mereka menjadi yang terdengar Indonesia atau berisiko dicabut status kewarganegaraannya.

Penggunaan dan pembelajaran bahasa Mandarin juga tidak disarankan, dan Tahun Baru Imlek juga tidak boleh dirayakan dengan cara yang "mencolok".

Pada tahun 1999, setelah jatuhnya Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan festival tersebut.

Baca Juga: Ayus Sabyan Memang Pernah Berbuat Apa hingga Nissa Sabyan Bilang: 'Enggak Mau, Gak Suka Gelay'

Hampir dua dekade setelah penggunaan resmi “Tiongkok” dan “Tionghoa”, istilah tersebut masih belum meluas di kalangan masyarakat Indonesia.

Sadar akan penggunaan kata "China" yang berpotensi menyinggung, terutama ketika ada orang Indonesia-Tionghoa, banyak orang Indonesia kelas menengah yang terpelajar memilih kata bahasa Inggris "Chinese" sebagai gantinya.

Fonny Sutrisna (43), seorang Tionghoa Indonesia, lebih suka ketika mereka yang bukan dari kelompok etniknya menggunakan kata “Chinese” untuk menggambarkan komunitasnya.

Baca Juga: Gara-gara Kondom Tertinggal di Vagina, Perselingkuhan Istri Terbongkar

“Kedengarannya jauh lebih ramah daripada 'Cina' atau 'Cino' [dalam bahasa Jawa],” katanya.

Pendirian Fonny menunjukkan tren yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia.

Terutama di kalangan kelas menengah yang sedang berkembang, untuk beralih ke bahasa Inggris guna membuat kata atau ungkapan tertentu lebih sopan.

Baca Juga: Warga Cirebon Selalu Terkejut dan Penasaran jika Melihat Lima Anak Kembar Muncul Bersamaan

“Ambil contoh kata 'sopir', yang dengan cepat menghilang di daerah perkotaan,” kata sejarawan bahasa Wibisono.

“Kata tersebut diadopsi dari bahasa Belanda yaitu ‘chauffeur’, tetapi banyak orang saat ini lebih suka menggunakan kata bahasa Inggris 'driver' dalam percakapan sehari-hari.”

Ketika ditanya mengapa "driver" lebih diterima secara sosial, Linda Anggraini (43), seorang ibu rumah tangga berpendapat bahwa "sopir terdengar kasar bagi mereka dengan profesi tersebut.

Baca Juga: Dua Desa di Kaki Gunung Ciremai Sempat Mencekam, Tiap Pagi Warga Temukan Ceceran Darah

Baca Juga: Sudah Merasakan Goyangan hingga Menjerit-jerit, Kok Bayarnya Cuma Rp 2.000,00

“Di Manado, kebanyakan orang sekarang menyebut pekerja mereka [di toko dan pabrik] sebagai ‘helper’ sehingga kita tidak tampak merendahkan orang-orang di bawah [tangga sosial],” kata Sutrisna.(SF)***

Editor: Parama Ghaly

Sumber: SCMP


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah