Kasus Pelecehan di KPI: Korban MS Ditelanjangi dan Testisnya Dicorat-Coret dengan Spidol

- 2 September 2021, 21:50 WIB
Kasus Pelecehan di KPI: Korban MS ditelanjangi dan testisnya dicorat-coret dengan spidol.
Kasus Pelecehan di KPI: Korban MS ditelanjangi dan testisnya dicorat-coret dengan spidol. /Pixabay/Myriams Fotos/

ZONA PRIANGAN - Kekerasan seksual di tempat kerja kembali terjadi. Kali ini menimpa MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Ini membuktikan bahwa kekerasan seksual tidak memandang gender, pria dan wanita bisa menjadi korbannya. Sehingga, negara harus serius mengatasi masalah ini.

Kasus pelecehan seksual dan perundungan (bullying) di KPI Pusat membuat banyak orang mempertanyakan kredibilitas KPI sebagai lembaga yang sering melakukan sensor dengan dalih "menegakkan moral".

Baca Juga: Kasus Pelecehan di KPI: Terungkap Lewat Pesan Berantai dan Komnas HAM Mengakui Menerima Aduan MS

Tapi mereka lupa untuk "menyensor" pegawainya sendiri. Justru kelakuan bejat terjadi di gedung tempat mereka bekerja.

Beredar pesan berantai tentang keluh kesah korban pelecehan seksual dan perundungan (bullying) di kantor KPI Pusat.

Korban berinisial MS, pernah membuat dua kali laporan ke Polsek Gambir dan pada Rabu, 1 September 2021, RS membuat rilis dan akhirnya viral di semua platform media sosial, dengan harapan sampai ke telinga Presiden Republik Indonesia Jokowi.

Baca Juga: Inilah Alasan KPI Melarang 42 Lagu Barat Diputar Radio di Bawah Pukul 10 Malam

"Tolong Pak Jokowi, saya tak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI. Saya trauma buah zakar dicoret spidol oleh mereka," tulis MS dalam keterangan persnya, Rabu 1 September 2021 yang kemudian ditweet tampilan layar oleh pengguna Twitter @mediteraniaq pada 1 September 2021.

Korban pelecehan seksual MS menceritakan kisah pahitnya itu secara runut dan MS mengakui telah dilecehkan oleh rekan kerjanya yang sesama pria yang kerap melakukan perundungan dan perlakuan yang tidak manusiawi.

Ceritanya dimulai ketika ia mulai bekerja di KPI Pusat pada 2011 lalu. Sejak saat itu, ia mendapatkan intimidasi dan perundungan dari para seniornya, salah satunya yakni disuruh membelikan makan siang.

Baca Juga: Pelecehan Seksual, Virginia Punya Bukti Dipeluk Duke of York, Pangeran Andrew: Itu Foto Palsu

"Mereka secara bersama-sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh," kata MS.

Kejadian itu belum seberapa, masih ada perlakuan lainnya yang lebih tidak beradab dan manusiawi.

Menurut pengakuan MS, pada 2015 rekan-rekan kerjanya yang berinisial RE, EO, TS, SG, RT, CL dan FP bersama-sama memegangi kepala, tangan, kaki, memiting dan menelanjanginya. Saat itu juga rekannya EO mulai mencoret-coret testisnya dengan spidol dan juga direkam oleh CL.

Baca Juga: Gubernur Ini Hadapi Tuduhan Pelecehan Seksual Terhadap 11 Pegawai Negeri, Commisso: Saya Pernah Diraba-raba

"Mereka beramai-ramai memiting, melecehkan saya dengan mencoret coret buah zakar saya memakai spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi," jelasnya.

"Mereka mendokumentasikan kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu. Semoga foto telanjang saya tidak disebar dan diperjualbelikan di situs online," ujarnya.

Sejak kejadian itu, jiwanya kemudian terguncang dan menderita stres berat karena harga dirinya sebagai laki-laki telah hancur.

Baca Juga: Skandal Microsoft: Kasus Pelecehan Seksual Makin Liar, Mulai dari Pantat Dipegang hingga Perkosaan

"Saat ingat pelecehan tersebut, emosi saya tak stabil, makin lama perut terasa sakit, badan saya mengalami penurunan fungsi tubuh, gangguan kesehatan," katanya.

Pada 8 Juli 2017, MS mulai memeriksakan diri di Rumah Sakit Pelni untuk pemeriksaan Endoskopi dan hasilnya menunjukkan dirinya menderita hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stres.

Perundungan terhadap korban MS belum selesai. Pada 2017, saat acara Bimtek di Resort Prima Cipayung, Bogor, tengah malam saat MS terlelap tidur tiba-tiba tubuhnya dilempar ke dalam kolam dan rekan-rekan kerjanya itu pun tertawa riang.

Baca Juga: 14 Perwira dan Tamtama Dipecat Terkait Pelecehan Seksual Terhadap Tentara Wanita

"Apakah penderitaan saya sebuah hiburan bagi mereka. Mengapa mereka begitu berkuasa menindas tanpa ada satupun yang membela saya. Apakah hanya karena saya karyawan rendahan sehingga para pelaku tak diberi sanksi? Dimana keadilan untuk saya?" ungkapnya.

Pada 11 Agustus 2017, MS mulai mengadukan pelecehan dan perundungan yang dialaminya itu kepada Komnas HAM melalui email. Pada 19 September 2017, Komnas HAM membalas email dan menyimpulkan bahwa yang dialaminya itu sudah masuk ranah tindak pidana.

"Komnas HAM menyarankan saya agar membuat laporan Kepolisian," kata MS.

Baca Juga: Polisi Ini Predator yang Berbahaya, Lakukan Pelecehan Seksual dan Menembak Mati Tiga Orang

Perundungan belum juga usai memasuki 2018. Ingin rasanya MS untuk resign dari kantornya itu. Namun ia malah menjadi menjadi korban fitnah.

Pada 2019, MS mengikuti saran yang diberikan oleh Komnas HAM yakni dengan membuat laporan kepolisian, tepatnya di Polsek Gambir.

Tapi laporan tersebut tidak ditindak lanjuti, malahan menyarankan untuk diselesaikan secara internal.

Baca Juga: Rekor, 710 Korban Pelecehan Seksual di Kampus Akan Terima Ganti Rugi Masing-masing Rp 3,6 Miliar

"Lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biarkan internal kantor yang menyelesaikan," ujar MS menirukan saran petugas polisi.

"Pak Kapolri, bukankah korban tindak pidana berhak lapor dan Kepolisian wajib memprosesnya?" tanya MS.

MS mengikuti saran petugas polisi Gambir itu. Ia kemudian mengadukan semua perlakuan pelecehan yang diterimanya di tempat kerja kepada internal kantor KPI Pusat.

Baca Juga: Selama Pandemi Covid-19, Pelecehan Terhadap Tenaga Kesehatan Justru Meningkat

"Saya ceritakan semua pelecehan dan penindasan yang saya alami. Pengaduan ini berbuah dengan dipindahkannya saya ke ruangan lain yang dianggap ditempati oleh orang orang yang lembut dan tak kasar," katanya.

Meskipun MS telah dipindahkan ke ruangan lain, itu tak membuat perlakukan buruk dari rekannya lantas berakhir, perlakuan yang tidak manusiawi itu pun tetap berlangsung dan pelaku pun seolah kebal hukum.

Tasnya di lempar keluar ruangan beserta bangkunya dan bertuliskan "Bangku ini tidak ada orangnya".

Baca Juga: Timor Leste Digemparkan Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Anak-anak 14 Tahun di Tempat Penampungan

"Saya makin stres dan frustrasi. Akhirnya berdasarkan saran keluarga, saya konsultasi ke psikolog di Puskesmas Taman Sari. Hasilnya, saya divonis mengalami PTSD (post traumatic stress disorder)," ujarnya.

Lalu, MS pun kembali ke kantor polisi dengan harapan laporannya dahulu ditindak lanjuti. Sayangnya, ibarat jauh panggang dari api.

"Saya ingin penyelesaian hukum, makanya saya lapor polisi. Tapi kenapa laporan saya tidak di-BAP? Kenapa pelaku tak diperiksa? Kenapa penderitaan saya diremehkan?" ungkapnya.

Baca Juga: Hadapi 90.000 Kasus Pelecehan Seksual, Organisasi Pramuka Terancam Bangkrut untuk Bayar Kompensasi

"Kepada siapa lagi saya mengadu? Martabat saya sebagai lelaki dan suami sudah hancur. Bayangkan, kelamin saya dilecehkan, buah zakar saya bahkan dicoret dan difoto oleh para rekan kerja, tapi semua itu dianggap hal ringan dan pelaku masih bebas berkeliaran di KPI Pusat. Wahai polisi, dimana keadilan bisa saya dapat?" tambahnya.

Pikiran untuk 'resign' dari KPI telah lama berada di dalam benaknya. Tetapi, ia terus bertahan demi menghidupi anak, istri dan orangtuanya. Terlebih disaat pandemi ini, di mana mencari sesuap nasi bukan lah perkara yang gampang.

"Dan lagi pula, kenapa saya yang harus keluar dari KPI Pusat? Bukankah saya korban? Bukankah harusnya para pelaku yang disanksi atau dipecat sebagai tanggung jawab atas perilakunya? Saya benar, kenapa saya tak boleh mengatakan ini ke publik," pungkasnya.***

Editor: Yurri Erfansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah