Mengenal 'Genjring' sebagai Tradisi Jemput Penganten di Majalengka

- 30 Maret 2024, 11:55 WIB
Tradisi Genjring di Majalengka.
Tradisi Genjring di Majalengka. /Zonapriangan.com/Rachmat Iskandar ZP/

ZONA PRIANGAN - Pada umumnya di kalangan masyarakat jika menjemput pengantin atau orang sunda menyebut mapag panganten, dilakukan oleh lengser diiringi para penari melalui upacara adatnya dengan dandanan yang menarik

Berbeda dengan yang dilakukan masyarakat Desa Leuwilaja, Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka, mapag pengantin biasa dijemput oleh tabuhan genjring yang para penabuhnya semua laki – laki dan sudah berusia diatas 45 tahunan, berkopiah dengan sandal yang beragam.

Tradisi ini menurut keterangan warga setempat, dilakukan turun temurun sejak moyang mereka, yang hingga kini masih terus berjalan dan tidak mengenal orang kaya ataupun orang dengan status ekonominya biasa - biasa saja.

Baca Juga: Peringati Earth Hour 2024, DLH Jabar: Satu Jam Berharga untuk Bumi

Menurut keterangan Iwan Abe Sapawi, kelompok yang biasa menabuh genjring dan mapag pengantin ini adalah Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM) Al Mubin, Desa Leuwilaja, atau grupnya dikenal Genjring Buhun Al Mubin.

“Dinamakan genjring buhun karena irama dan ketukannya berbeda dengan hadroh atau marawis.” ungkap Iwan.

Menurutnya, jumlah personil genjring ini sebanyak 15 orang, kesemuanya berusia antata 45 tahun hingga 60 tahun, termasuk yang mendorong pengeras suara atau memilkul dog – dog.

“Penjemputan pengantin laki - laki ini jaraknya 100 meter dari rumah pengantin perempuan. Semua personil penambuh gentring sudah berada di tempat sebelum pengantin laki – laki datang. Mereka sudah menabuh genrring lebih awal.” ungkap Iwan.

Baca Juga: 5 Bahaya yang Bisa Timbul Jika Tidur Setelah Makan Sahur

Begitu pengantin laki – laki datang bersama pengiring lainnya, semua benhenti dekat penambuh genjring, setelah itu baru dipersilahkan untuk melaju dengan berjalan kaki, sedangkan penambuh genjring berada di paling belakang. Pengiring ini baru berhenti dekat panggung lokasi hajatan, setelah semua pengiring pengantin masuk panggung dan duduk di kursi yang telah disiapkan.

“Lagunya solawatan saja tidak ada yang lain,” ungkap Iwan Abe.

Grup genjring Al Mubin dipimpin Ust Qusyaeri yang juga Ketua DKM setempat, personilnya diantaranya Ust Ibrohim, H Alex.

Menurut mereka untuk mapag pengantin ini tidak pernah memasang tarif, namun pemilik hajat memberikan uang seiklasnya, ada yang Rp 300.000, ada juga yang mencapai Rp 500.000. Uang tersebut tidak pernah dibagikan namun menjadi uang kas yang pemanfaatannya untuk menganti atau memperbaiki genjring atau membeli seragam jika seragam sudah lusuh.

Baca Juga: Keajaiban Kecerdasan Buatan: Penghasilan Fantastis Model AI di Fanvue

“Ini hanya untuk mempertahankan tradisi yang kami jaga dari warisan karuhun kami dulu. Kebetulan juga di wilayah kami masyarakatnya masih tetap bersedia mempertahankan budaya ini, mapag pengantin dengan genjring,” ungkap Qusyaeri.

Selain itu sering juga diminta masyarakat untuk mengiringi kegiatan keagamaan seperti aqiqah, sholawatan dan marhabaan pada acara – acara peringatan hari besar islam.

“Personilnya semua sudah tua, tidak ada anak muda, mereka mungkin belum bersedia belajar, mereka tentu lebih suka alat musik modern. Tapi walaupun banyak anak muda dan lebih suka musik modern, kalau mapag pengantin masih tetap dengan gentring ,” ungkap Qusyaeri.

Hanya diapun tak mengetahui entah sampai kapan kesenian genring yang kini dilakoni bersama sahabat - sahabatnya akan bertahan.

“Mudah – mudahan saja ada yang melanjutkan setelah kami semua tak bisa lagi menabuh,” ungkap Ibrohim.***

Editor: Yudhi Prasetiyo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah