ZONA PRIANGAN - Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan bahwa pihak Barat tidak akan mendukung diktat atau didikte oleh Rusia soal perdamainan di Ukraina.
Lebih lanjut, di mengatakan Rusia tidak akan lolos dengan mencoba menggambar ulang perbatasan Ukraina dengan menciptakan fakta di lapangan dan menunggu Kyiv dan sekutunya.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan pada pekan lalu bahwa Kyiv tidak akan memperdagangkan wilayahnya hanya untuk perdamaian dengan Rusia, mengatakan kepada televisi RAI Italia bahwa dia telah diminta oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mempertimbangkan melakukannya.
Sementara pemerintah Prancis telah membantah bahwa saran semacam itu telah dibuat. Pada hari Senin, Scholz mengatakan bahwa perubahan perbatasan siluman seperti itu tidak akan diterima oleh Barat jika Ukraina menolaknya.
"Hanya ada satu jalan keluar untuk Rusia dan itu adalah mencapai kesepakatan dengan Ukraina," katanya kepada televisi RTL, dikutip ZonaPriangan.com dari Reuters.
"Dan itu tidak berarti perdamaian diktat, mengambil sedikit wilayah dan kemudian mengatakan 'tanda tangan di sini'," tambahnya.
Baca Juga: Presiden Zelensky Terlihat Bersama Istrinya untuk Pertama Kalinya sejak Perang Dimulai
"Dan itu juga tidak akan berhasil seperti dalam kasus Krimea, di mana perang berakhir dan tidak ada lagi penembakan, tetapi perbatasan baru telah dibuat, dan kemudian mereka menunggu sampai semuanya kembali normal," jelasnya.
Rusia mencaplok Krimea pada tahun 2014 dan sejak itu mengklaim kedaulatan atas semenanjung Laut Hitam. Klaim Rusia ditolak oleh Kyiv kecuali segelintir negara lain.
Pengiriman senjata untuk membantu Ukraina guna mempertahankan diri dari invasi Rusia dan sanksi terhadap Moskow dirancang untuk memperjelas bahwa "perjanjian dengan Ukraina tidak dapat dihindari, dan tidak ada jalan lain bagi Presiden (Putin)".
Moskow menyebut invasinya ke Ukraina sebagai "operasi militer khusus" untuk menyingkirkan negara fasis, sebuah pernyataan yang dikatakan Kyiv dan sekutu Baratnya adalah dalih tak berdasar untuk perang yang tidak beralasan.***