Refly Harun: Marilah Kita Berpikir Obyektif, Habib Rizieq Itu Bukan Penjahat

16 April 2021, 11:00 WIB
Habib Rizieq Shihab. /Tangkapan Layar Twitter.com/@RosidinBrawija3

ZONA PRIANGAN - Di channel YouTube Refly Harun pada Kamis, 15 April 2021 telah diposting video tentang Walikota Bogor Bima Arya yang menggunakan pendekatan pidana dalam menyelesaikan masalah.

Padahal masalah tersebut bukan lah delik umum yang memang tidak perlu untuk dilaporkan.

Ahli hukum tata negara dan pengamat politik Indonesia itu pun sangat menyesalkan praktik tersebut.

"Kalau saya terus terang saja menyesalkan siapa pun yang suka menggunakan pendekatan pidana dalam menyelesaikan masalah yang harusnya bisa diselesaikan karena kita paham yang namanya delik itu.

Ada delik umum yang tidak perlu dilaporkan dan ada delik aduan yang kalau dilaporkan baru lah kemudian bergerak," kata Refly Harun yang pernah ditunjuk oleh Mahfud MD sebagai Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi, setelah ia mensinyalir adanya mafia hukum di MK.

Baca Juga: Vaksin Nusantara Belum Layak, Inilah 5 Alasan dan Penjelasan BPOM

Lebih lanjut Refly Harun mengatakan bahwa sebetulnya apa yang dilakukan oleh Habib Rizieq ini bisa diselesaikan dengan menggunakan pendekatan administratif saja.

"Padahal kita tahu yang namanya apa yang dilakukan Habib Rizieq ini sebenarnya kan bisa didekati dari sudut administrasi negara.

Apalagi Bima Arya adalah seorang walikota, dia kan bisa menggunakan dua pendekatan sebagaimana sebagaimana dikatakan Habib Rizieq, pendekatan kekeluargaan dan pendekatan administratif," tambahnya.

"Yaitu, kalau memang rumah sakit tidak berkompromi maka bisa diberikan sanksi adminstratif oleh pemerintah kota Bogor karena pasti rumah sakit tersebut ada kaitan perizinan dengan pemerintah Kota Bogor," jelasnya.

Pakar hukum yang menyelesaikan gelar S3 nya itu di Universitas Andalas pada 2016 itu, menyatakan keheranannya dengan apa yang dilakukan oleh Bima Arya.

Baca Juga: Justin Bieber: Tahun Pertama Pernikahan Sangat Sulit

"Tapi tiba-tiba main mengadukan kepada polisi, apa yang ingin dicari Bima Arya, saya tidak mengerti karena yang saya tahu, Bima Arya adalah seorang 'political scientist', S3 dari Australia, saya kira pasti tidak membutuhkan sebuah publikasi 'murahan' untuk mendongkrak popularitas, pasti bukan itu," ujarnya.

Refly pun melihat adanya keanehan lainnya, yakni menyamakan Habib Rizieq yang seorang ulama tak ubahnya diperlakukan seperti seorang penjahat yang membahayakan warga.

"Tapi masalahnya apa, kalau misalnya dikatakan dia semata-mata ingin melindungi warga kota Bogor, saya kira Habib Rizieq bukan lah penjahat, yang kalau dia bebas maka dia akan membahayakan warga kota," kata pria kelahiran Palembang 26 Januari 1970 itu.

Refly pun membeberkan betapa patuhnya Habib Rizieq dalam mengikuti protokol kesehatan, bahkan ketika terpapar Covid-19 pun dengan penuh kesadaran melakukan isolasi mandiri dan tidak mau menerima tamu.

"Toh dia sadar ketika terkena Covid-19 dia mengadakan isolasi mandiri dan tidak mau diketemui orang. Kalau pun misalnya di videonya dia mengatakan hal yang lain, kita harus pahami dia adalah pesohor yang kadang-kadang record kesehatannya itu tidak perlu dipublikasikan, sebagai contoh misalnya Erlangga Hartarto, ketika dia kena Covid-19 sebagai Ketua Komite barangkali untuk menjaga moral pasukan, dia tidak memberitakan kalau dia terkena Covid-19," tambahnya.

Baca Juga: 5 Amalan Sunnah Sebelum Melaksanakan Sholat Jumat, Raih Ampunan dan Keberkahan Sepanjang Hari

"Mungkin alasan yang sama juga ada di Habib Rizieq, tapi jangan lupa yang membedakan Habib Rizieq dan Erlangga Hartarto adalah Erlangga Hartarto adalah pejabat publik, bahkan dia Ketua Komite Pemulihan Ekonomi dan Penanggulangan Covid-19," jelasnya.

"Artinya dia memiliki kewajiban yang jauh lebih besar ketimbang Habib Rizieq, yang hanya seorang 'ulama' dan bukan bagian dari negara [not part the state]. Sehingga kewajibannya adalah kewajiban yang umum saja," ujarnya.

"Adapun karena dia orang yang terkenal, dia banyak pengikutnya adalah soal lain. Tapi, dari sisi hukum tidak ada kewajiban yang berbeda dengan kewajiban warga negara lainnya. Toh, banyak orang yang terkena Covid-19, kan? Tidak perlu misalnya harus mengumumkan statusnya dan lain sebagainya," ungkapnya.

Baca Juga: Gipsi Punya Tradisi, Rebutan Cewek Harus Diselesaikan dengan Perkelahian Berdarah-darah

Menurut dosen ilmu hukum di Universitas Tarumanegara ini, yang paling penting adalah menyadari untuk melakukan isolasi mandiri.

"Yang paling penting adalah dia menyadari karena itu melakukan misalnya langkah-langkah untuk melakukan isolasi mandiri," kata Refly Harun.

Refly menilai, pelaporan itu sangat berlebihan dan berpotensi digunakan oleh entah siapa untuk menjadikan kasus tersebut untuk memenjarakan Habib Rizieq.

"Menurut saya, pelaporan-pelaporan itu sangat berlebihan. Apalagi dampaknya digunakan oleh entah siapa untuk melihat kasus ini sebagai kasus yang punya potensi untuk memenjarakan Habib Rizieq. Maka digunakan lah pasal tentang menyebarkan hoax, pasal penyebaran kebohongan yang itu ancaman hukumannya 10 tahun penjara," tambahnya.

"Cobalah Anda bayangkan, apakah tidak konyol, konyolnya adalah sebuah pelanggar kesehatan, protokol kesehatan, soal orang terkena covid atau tidak, mengumumkan bahwa dia terkena covid atau tidak, tiba-tiba diancam dengan hukuman kalau dikumulatifkan 16 tahun penjara, 6 tahun ancaman hukuman pada penghasutan, kemudian 10 tahun menyebarkan berita bohong," jelasnya.

Baca Juga: Adaptasi dengan Perkembangan Zaman dan Teknologi, Ridwan Kamil: Pramuka Tumbuhkan Jiwa Pemimpin Pemuda Jabar

Menurut Refly yang juga peneliti di Centre of Electoral Reform (CETRO) ini, hukuman tersebut sangat berat, bahkan jauh lebih berat dari hukuman seorang koruptor.

"Bayangkan koruptor saja tidak seberat itu hukumannya, belum lagi pasal-pasal lain yang dikenakan pasal melawan petugas atau melawan undang-undang, pasal wabah penyakit menular, pasal ormas, pasal tentang kekarantinaan kesehatan dan lain sebagainya," ujarnya.

"Sungguh saya menyesalkan, seorang Bima Arya bertindak seperti itu, menggunakan kekuasaannya untuk melaporkan seorang warga negara sehingga warga negara tersebut menghadapi konsekuensi hukuman badan dan sudah dipenjara, ditahan selama 4 bulan, mulai dari 13 Desember hingga sekarang tertanggal 15 April," ungkapnya.

"Jadi, Desember ke Januari satu bulan, Januari ke Februari dua bulan, Februari ke Maret tiga bulan, Maret ke April empat bulan. Artinya tahanan atau kurungan terhadap Habib Rizieq telah dijalani selama 120 hari," katanya.

Baca Juga: Bocah 12 Tahun Akhirnya Tewas Setelah Mengikuti Tantangan Menahan Nafas di TikTok

Refly pun menanyakan seberapa pantas sebuah pelanggaran administratif seperti itu harus menerima perlakuan hukum yang layaknya diterapkan kepada seorang pelaku kejahatan.

"Kira-kira apakah pantas untuk sebuah pelanggaran administratif seperti itu. Ini yang menjadi pertanyaan, terlepas siapa Habib Rizieq".

Tapi yang jelas bahwa negara, aparat negara, pejabat-pejabat negara, tidak boleh dengan mudah menggunakan kekuasaannya untuk menghukum dan memenjarakan orang dengan sebab-sebab subjektif, kecuali kalau dari sananya memang kejahatan, pelaku pembunuhan, pelaku pemerkosaan, koruptor, pelaku tindak kekerasan lainnya, tindak pidana berat lainnya," kata Refly Harun.

"Tapi pelanggaran protokol kesehatan, kita masih berdebat, kenapa si A di proses, si B tidak, kenapa Habib Rizieq diproses, kenapa Presiden Jokowi tidak misalnya, kenapa si A proses, kenapa si B tidak, dan lain sebagainya," tambahnya.

Baca Juga: Saatnya Jabar Bergerak Mencakup Wilayah Lebih Luas, Ridwan Kamil: Bisa Berubah Menjadi Indonesia Bergerak

"Jadi kalau kita mau katakanlah berdalih melindungi warga negara, melindungi rakyatnya, ya kita harus menggunakan pendekatan yang rasional. Pendekatan sebab-akibat dan lain sebagainya," ujarnya.

"Kalau begitu kepada Erlangga Hartarto misalanya yang mengaku tidak mengumumkan bahwa dia kena covid misalnya, bisa dong dilaporkan dan dituntut juga karena bisa membahayakan warga DKI, kan tidak bisa begitu juga," katanya.

"Logikanya karena sama saja, dia tidak melaporkan bahwa dia terkena Covid-19 dan kita tidak tahu apakah dia melakukan protokol kesehatan yang benar atau tidak atau dia tidak membahayakan orang lain atau tidak," ungkapnya.

Refly pun mengajak setiap orang untuk berpikir obyektif, janganlah menghukum seseorang yang tidak melakukan pelanggaran berat dengan hukuman yang tidak sepantasnya.

Baca Juga: Para Alumni SMA Ini Merasa Malu dengan Logo Sekolah

"Jadi, marilah kita berpikir obyektif, Habib Rizieq itu bukan penjahat, bukan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana yang berat dan tidak sepantasnya mengalami ini semua," kata Refly Harun.

"Apalagi jika kita kaitkan dengan kasus-kasus lainnya, seperti kasus penyiram Novel Baswedan misalnya, yang hanya dituntut satu tahun kemudian dihukum dua tahun. Atau kasus-kasus lainnya yang memunculkan kehebohan yang juga tidak besar tuntutannya," tambahnya.

"Mudah-mudahan keadilan masih bisa ditegakkan di republik ini dan tidak banyak pejabat-pejabat yang mau mengkriminalkan warganya atau warga yang lain. Tapi tetap warga Republik Indonesia," harapnya.

"Yang saya katakan hanyalah menyesalkan saja proses-proses laporan pelaporan pemidanaan karena saya termasuk orang yang paling tidak suka lapor melapor dan berharap bahwa penegak hukum itu memenjarakan orang, menahan orang sehingga negara ini menjadi negara yang horor, bukan lagi negeri bebas," pungkasnya.***

Editor: Yudhi Prasetiyo

Tags

Terkini

Terpopuler