Mengenal Ritual Samagaha untuk Tolak Bala Ketika Terjadi Gerhana Bulan

- 29 Mei 2021, 14:05 WIB
Sejumlah anak-anak tengah berkumpul sambil menghadapi ketupat dan tangtangangin di Depan Balai Desa Nunuk  saat upacara Uar sebuah ritual untuk mencegah terjadinya cobaan usai terjadi gerhana bulan atauw arga menyebut samgaha, Kamis (27/5/2021) sore hari menjelang magrib.
Sejumlah anak-anak tengah berkumpul sambil menghadapi ketupat dan tangtangangin di Depan Balai Desa Nunuk saat upacara Uar sebuah ritual untuk mencegah terjadinya cobaan usai terjadi gerhana bulan atauw arga menyebut samgaha, Kamis (27/5/2021) sore hari menjelang magrib. /Zonapriangan.com/ Rachmat Iskandar ZP

ZONA PRIANGAN - Warga di Desa Nunuk, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka lakukan ritual gerhana bulan (sunda:samagaha), ritual ini disebut uar. 

Uar adalah hajat ketupat dan tangtangangin (kupat yang bungkusnya berasal dari daun bambu), ritual untuk mencegah bahla setelah kejadian gerhana, Kamis 2 Mei 2021 sore.

Upacara tersebut biasa dilakukan pada keesokan harinya setelah malamnya terjadi samagaha (gerhana bulan), uar dilakukan menjelang solat magrib, dan persiapan mulai pukul 17.30 WIB.

Baca Juga: Wakil Bupati Majalengka Telusuri Pekerja TKI yang Terancam Hukuman Mati di Dubai

Pada keesokan hari setelah terjadi gerhana bulan atau jika terjadi gerhana mata hari, warga di Desa Nunuk beramai-ramai membuat kupat keupeul, disebut kupat kepeul karena bentuknya kecil sebesar kepalan tangan anak-anak.

Kupat terbuat dari sehelai daun kepala sehingga bentuknya kecil. Selain membuat kupat warga itu membuat puluhan tangtangangin.

“Setiap rumah membuat belasan hingga puluhan kupat dan tangtangangin. Setelah ketupat dan tangtangangin matang, usai solat asar diserahkan kepada sesepuh desa atau kuncen untuk dijadikan sesajen para ritual, setelah semua kupat dan tangtangangin terkumpul kemudian di simpan menyebar di atas terpal atau pada jaman dulu tampir buleud (nyiru berukuran besar dimeter 2 meteran),” ungkap Sri Susilawati.

Baca Juga: Lansia dengan KTP Bandung Bisa di Vaksin di Drive Thru Covid-19, Dari 27 Mei-10 Juni 2021, Simak Penjelasannya

Menjelang magrib seluruh anak-anak berkumpul di depan kantor balai desa, sedangkan kupat dan tangtang angin disimpan di terpal kemudian anak-anak duduk melingkar menghadapi tangtangangin dan ketupan diang disimpan tak beratauran.

Begitu menjelang magrib, kuncen Syamsudin langsung memanjatkan doa setelah semua sesajen tersedia seperti kelapa muda, tangkueh, gula batu, serta bubur manis dan bubur putih.

Begitu sesepuh selesai memanjatkan doa semua anak-anak dan orang dewasa yang ada langsung berebut tangtangangin dan kupat tersebut yang ada dihadapannya.

Ini menjadi kebahagiaan bagi anak-anak karena bisa memperoleh kupat walaupun di rumahnya tersedia kupat.

Baca Juga: Akibat Kelelawar Ditemukan di Dalam Kabin Pesawat, Pilot Air India Memutuskan Kembali Ke Delhi

Yati warga Nunuk mengatakan dirinya membuat 15 kupat dan tangtangangin .

“Ini tradisi sejak nenek moyang ada di Nunuk. Ada kepercayaan ini untuk tolak bala, atau nyingkahan balai (mencegah bahla), karena gerhana bulan dianggap sebuah bahla. ” ungkat Yati.

Kuncen Desa Nunuk, Syamsudin mengatakan, upacara tersebut di kampungnya di sebut uar.

Uar atau bewara ini memberitahukan kepada khalayak bahwa malam telah terjadi gerhana bulan atau samagaha, dan untuk mencegah bahla usai gerhana maka harus diadakan tolak bala .

“Ritual ini untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar kedepan tidak ada seorangpun warga yang mendapat cobaan,” ungkap Syamsudin.

Baca Juga: Sukabumi dan Bekasi Masuk 10 Besar Kota Paling Toleran di Indonesia, Salatiga Peringkat Teratas

Ketupat dan tangtangangin melambangkan kekuatan dan kebulatan serta tahan hempasan atau cobaan.

Makanya ketupat yang dibuatnyapun bentuknya berbeda dari ketupat biasa, yakni kupat keupeul. Kupat keupeul ini biasa dibuat hanya untuk ritual bukan untuk acara makan-makan.

“Ketupat ini nantinya diperebutkan oleh anak-anak dan orang dewasa yang ada di tempat ritual.” katanya

Selain ritual uar, pada saat gerhana di Nunuk, ada kepercayaan dari masyarakat, orang yang tengah hamil atau mengandung tidak diperbolehkan keluar rumah. Bahkan yang bersangkutan harus berada di kolong tempat tidur, setelah itu dia di siram debu.

Baca Juga: Command Center Sumedang Diklaim Lebih Baik dari Daerah Lain, Ridwan Kamil: Wajah Terbaik Digital West Java

Konon untuk menghindari anaknya hitam kelam atau muncul tanda di badan.

Orang yang hamil inipun begitu selesai gerhana harus langsung mandi besar, dengan membersihkan seluruh badannya mulai rambut hingga kaki.

Ini dilakukan begitu gerhana selesai, makanya walaupun tengah malampun tetap harus mandi besar, agar anaknya bersih dan tidak terjadi sesuatu saat melahirkan baik terhadap ibunya ataupun anaknya.***

Editor: Yudhi Prasetiyo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah