Pakta nuklir 2015 memberlakukan pembatasan pada kegiatan nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional. Presiden Donald Trump saat itu menarik Amerika Serikat dari kesepakatan pada 2018, menerapkan kembali sanksi ekonomi yang keras terhadap Teheran.
Ulama penguasa Iran menanggapi dengan melanggar pembatasan pakta nuklir.
Juru bicara kementerian luar negeri Iran Nasser Kanaani pada hari Senin menuduh Kepala IAEA Rafael Grossi memiliki "pandangan tidak profesional, tidak adil dan tidak konstruktif" pada program nuklir Teheran.
Program nuklir Iran "berderap ke depan" dan IAEA memiliki visibilitas yang sangat terbatas tentang apa yang terjadi, kata Grossi dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada hari Jumat.
Kekuatan Barat memperingatkan Iran semakin dekat untuk bisa berlari cepat menuju pembuatan bom nuklir. Iran membantah menginginkannya. Pembicaraan tidak langsung antara Iran dan Amerika Serikat tentang menghidupkan kembali kesepakatan 2015 telah terhenti sejak Maret.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan kekecewaannya kepada timpalannya dari Iran Ebrahim Raisi atas kurangnya kemajuan dalam pembicaraan.
Pakta nuklir tampaknya hampir bangkit kembali pada bulan Maret tetapi pembicaraan menjadi kacau sebagian mengenai apakah Amerika Serikat akan menghapus Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran dari daftar Organisasi Teroris Asingnya. IRGC mengendalikan pasukan elit bersenjata dan intelijen yang dituduh Washington melakukan kampanye teroris global.
Pemerintahan Biden telah menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk menghapus IRGC dari daftar, sebuah langkah yang akan memiliki efek praktis yang terbatas tetapi akan membuat marah banyak anggota parlemen AS.***