Studi ini mengasumsikan bahwa perdagangan internasional setelah perang seperti itu akan berhenti dan bahwa negara-negara Afrika dan Timur Tengah akan "sangat terpengaruh" oleh penurunan ekspor pangan global.
Para peneliti juga tidak mempertimbangkan pengurangan populasi manusia yang mempengaruhi pertanian dan tenaga kerja pertanian, atau ketersediaan bahan bakar dan pupuk, ke dalam model.
"Penurunan cahaya, pendinginan global, dan kemungkinan pembatasan perdagangan setelah perang nuklir akan menjadi bencana global bagi ketahanan pangan," tulis studi tersebut.
Studi ini juga menetapkan model untuk jumlah abu nuklir yang lebih kecil dalam skenario seperti perang nuklir antara India dan Pakistan, di mana 2 miliar orang bisa mati karena kelaparan.
Studi ini dilakukan di tengah perang Rusia di Ukraina yang telah memicu kekhawatiran internasional tentang perang nuklir dan bencana di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Zaporizhzhia, yang terbesar di Eropa.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada hari Sabtu menuduh Rusia melakukan "pemerasan" nuklir ketika penduduk dievakuasi di tengah tembakan artileri baru dari arah pembangkit listrik tenaga nuklir.
Zaporizhzhia adalah pembangkit listrik tenaga nuklir pertama yang beroperasi di zona perang, dan para pejabat Barat khawatir bahwa tembakan artileri di dalam dan di dekatnya menimbulkan ancaman nuklir yang akan segera terjadi di Eropa.***