Begitu menjelang magrib, kuncen Syamsudin langsung memanjatkan doa setelah semua sesajen tersedia seperti kelapa muda, tangkueh, gula batu, serta bubur manis dan bubur putih.
Begitu sesepuh selesai memanjatkan doa semua anak-anak dan orang dewasa yang ada langsung berebut tangtangangin dan kupat tersebut yang ada dihadapannya.
Ini menjadi kebahagiaan bagi anak-anak karena bisa memperoleh kupat walaupun di rumahnya tersedia kupat.
Baca Juga: Akibat Kelelawar Ditemukan di Dalam Kabin Pesawat, Pilot Air India Memutuskan Kembali Ke Delhi
Yati warga Nunuk mengatakan dirinya membuat 15 kupat dan tangtangangin .
“Ini tradisi sejak nenek moyang ada di Nunuk. Ada kepercayaan ini untuk tolak bala, atau nyingkahan balai (mencegah bahla), karena gerhana bulan dianggap sebuah bahla. ” ungkat Yati.
Kuncen Desa Nunuk, Syamsudin mengatakan, upacara tersebut di kampungnya di sebut uar.
Uar atau bewara ini memberitahukan kepada khalayak bahwa malam telah terjadi gerhana bulan atau samagaha, dan untuk mencegah bahla usai gerhana maka harus diadakan tolak bala .
“Ritual ini untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar kedepan tidak ada seorangpun warga yang mendapat cobaan,” ungkap Syamsudin.
Baca Juga: Sukabumi dan Bekasi Masuk 10 Besar Kota Paling Toleran di Indonesia, Salatiga Peringkat Teratas