Petani Rugi, Harga Gabah Tidak Pernah Beranjak Naik

- 13 Juli 2021, 15:39 WIB
Harga gabah kering giling sejak akhir tahun lalu tidak pernah beranjak naik walaupun musim paceklik.
Harga gabah kering giling sejak akhir tahun lalu tidak pernah beranjak naik walaupun musim paceklik. /Zonapriangan.com/Rachmat Iskandar ZP

ZONA PRIANGAN - Harga gabah kering giling sejak akhir tahun lalu tidak pernah beranjak naik walaupun musim paceklik, bahkan ketika puncak musim panen harga melorot tajam.

Harga tertinggi hanya mencapai Rp 450.000 hingga Rp 460.000 per kw.

Sayangnya rendahnya harga gabah tidak terlalu berpengaruh pada harga beras di pasaran, harga beras kini berkisar antara Rp 8.700 untuk beras medium dan Rp 12.000 per kg untuk kualitas premium.

Baca Juga: Dukung Kemenkes Hadapi Covid-19, Sea Group, Shopee, dan Garena Sumbang 1.000 Tabung Oksigen dan 1 Juta Vaksin

Baca Juga: 17 Warga Binaan di Lapas Majalengka Dinyatakan Positif Covid-19

Dengan harga gabah sebesar itu petani rugi karena modal yang dikeluarkan cukup besar, terlebih ketika terjadi kelangkaan pupuk atau petani yang tidak memiliki kartu tani dan tidak terdaftar di RDKK (rencena Devinitif Kebutuhan Kelompok) hingga petani harus membeli pupuk non subsidi seharga Rp 600.000 per kw, karena peyalur pupuk tidak bersedia melayani pembelian pupuk bersubsidi.

“Harga gabah sudah cukup lama hanya Rp 450.000 per kw. Tidak bisa naik sama sekali, padahal modal tani padi besar. Makanya petani padi mah hanya memutarkan uang tanpa upah,” ungkap Sri warga kelurahan Simpeureum yang menanam padi dlahan seluar 200 bata atau sekitar sajuru.

Menurutnya, dengan harga gabah Rp 450.000 per kw, petani hanya mendapatkan upah sebesar Rp 6.000 per hari.

Karena modal yang dikeluarkan mencapai kurang lebih Rp 1.610.000, itu belum termasuk harus mengurus air jika saluran mampet atau bagi giliran nyang harus di susul ke wilayah Maja dengan jarak belasan kilometer.

Baca Juga: Waspada Angin Kumbang Terjadi di Wilayah Majalengka, Cirebon dan Kuningan, Suhu Udara Naik 2-5 Derajat Celcius

Sekarang menurutnya biaya trakstor yang harus dibayar mencapai Rp 300.000, mencangkul Rp 200.000, pupuk Rp 60.000, obat pestisida Rp 200.000, upah menyiangi 4 orang selama dua hari Rp 240.000, bibit padi sebanyak 7 kg seharga Rp 70.000. Sedangkan pendapatan gabah jika kualista tengah bagus hanya 5 kuintalan, sebaliknya jika diserang hama maka paling diperoleh hanya 3 kuintal saja.

“Jika panen 5 kw dengan harga Rp 450.000 maka pendapatan hanya Rp 2.250.000, sedangkan modal lebih dari Rp 1.600.000, apalagi kalau dihitung setiap hari harus ke sawah untuk melihat air,” kata Sri.

Aef petani di Desa Panyingkiran malah menyebutkan kerugian cukup besar karena harga gabah di wiayahnya lebih rendah hanya Rp 430.000  hingga Rp 440.000 per kw.

Selain kerugian akibat harga murah, di wilayahnya areal sawah kerap kebanjiran seperti yang dialami saat MT rendeng kemarin sehingga tanaman rusak atau kekeringan disaat intensitas hujan mulai rendah.

“Upah kerja di kami juga lebih mahal, upah kerja sudah Rp 80.000 hingga Rp 100.000 per setengah hari, itu dikasih makan dan kopi di pagi hari,” kata Aep.

Sementara itu harga beras di pasaran di Majalengka kini berkisar antara Rp 8.700 hingga Rp 12.000 per kg.

Jika konsumen ingin membeli beras lebih murah dengan kualitas bagus maka haru rajin mencari kios beras yang menyediakan harga murah.

Karena ada beberapa kios yang menyediakan beras premium namun harganya hanya Rp 10.000 saja per kg. S

edangkan diluar pasar tradisional  harga beras premium lebih mahal Rp 1500 hingga Rp 2.000  setiap kilonya.

Menurut para petani, mereka bertani hanya mempertahankan tradisi dan mempertahankan ketersediaan padi untuk bekal makan keluarganya dari musim ke musim agar tidak kelaparan dan tidak kesulitan mencari beras.

Karena jika diperhitungkan bertani padi jelas-jelas rugi.

“Entah bagaimana caranya agar petani padi bisa untung, karena selama ini jika dikalkulasi bertani padi jelas rugi, tapi petani selalu berpikiran sederhana, kalau nyawah bisa punya bekal padi dan tidak akan kelaparan,” kata Opik petani lainnya di Jatitujuh.***

Editor: Yudhi Prasetiyo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x