ZONA PRIANGAN - Setelah Rusia menginvasi Ukraina, keruntuhan rubel adalah pertanda kuat bahwa isolasi keuangan terhadap Rusia oleh Barat telah berhasil.
Sanksi internasional terhadap rezim Vladimir Putin berhasil menenggelamkan rubel ke rekor terendah menjadi 121,5 rubel per dolar, mengingatkan kita pada krisis keuangan yang dialami oleh Rusia pada 1998 lalu.
Kondisi yang cukup mengerikan bagi Rusia ini, mendorong Presiden AS Joe Biden untuk mengatakan bahwa rubel telah direduksi menjadi "puing-puing".
Baca Juga: 'Ikatan Cinta' Jumat 8 April 2022: Al Bereaksi, Ricky Sodorkan Bukti Membuat Nino Mati Berdiri
Namun, sekarang ini, pastinya tidak. Rubel telah melonjak kembali ke tempatnya sebelum Putin menginvasi Ukraina, nilai tuker rubel terhadap dolar AS ditutup pada 79,7 di Moscow pada hari Rabu.
"Bagi para politisi, ini adalah alat PR yang baik dengan mengatakan bahwa sanksi tidak berdampak apa pun. Dan itu akan membantu membatasi dampak inflasi," kata Guillaume Tresca, ahli strategi pasar berkembang senior di Generali Insurance Asset Management.
Ini membuktikan bahwa meskipun Barat menerapkan sanksi terhadap Rusia dan oligarkinya, dan eksodus bisnis asing, tidakan tersebut sebagian besar ompong jika Barat masih menenggak minyak dan gas alam dari Rusia. Ini justru mendukung penguatan rubel dengan menimbun pundi-pundi Putin.
Baca Juga: Dokter Saddam Ismail: Ini 7 Penyebab Nyeri Lutut yang Sering Kita Jumpai
Bahkan ketika Rusia yang sebagian besar tetap terputus dari ekonomi global, Bloomberg Economics memperkirakan bahwa negara itu akan memperoleh hampir $321 miliar atau sekitar Rp4,6 kuadriliun dari ekspor energi tahun ini, naik lebih dari sepertiganya dari tahun 2021.