Otong mengungkapkan, biaya pengeluaran untuk pengolahan lahan dan pemeliharan, termasuk pemupukan dan pestisida, per 100 bata itu sebesar Rp 1,2 juta.
"Sementara, harga penjualan gabah kering giling sebesar Rp 450 ribu per kuintal. Kenyataan ini, jelas petani rugi dan harus nombok modal. Karena, biaya pengeluaran lebih besar dibanding pendapatan hasil panen," ujar Otong, Rabu 15 Juli 2020.
Baca Juga: Nunggak Pajak, Tower Seluler di Desa Cipanas Sumedang Dipasangi Spanduk Peringatan
Selain permasalahan itu, dikatakan dia, petani selalu dihantui hama dan penyakit. Seperti kehadiran wereng cokelat dan keong mas.
"Gara-gara keong mas merajalela, menyerang tanaman padi yang baru ditanam, banyak petani di kawasan Purwaharja yang menanam padi sampai tiga kali dalam satu musim," ujarnya.
Selain itu, petani di Kota Banjar sekarang ini banyak yang merasakan kesulitan mencari pupuk bersubsidi. Seperti, pupuk ponska dan SP 36.
Baca Juga: Xiaomi Memperkenalkan Teknologi Wired Fast Charging
Pupuk bersubsidi hilang misterius. Peristiwa hilangnya tersebut, saat petani membutuhkan pupuk. Tepatnya, tanaman padi berusia antara satu sampai dua minggu.
"Akibat tidak tersedianya pupuk itu, otomatis berakibat buruk terhadap pertumbuhan tanaman padi. Mungkin saja nantinya jadi tanaman padi kerdil mirip bonsai," ujar Otong.
Lebih jauhnya lagi, dikatakan dia, akibat tanaman padi kurang pupuk, itu dipastikan mengalami gagal panen.