Hingga Bulan Juni 2020, Ada 2.000 Janda Baru di Garut

6 Juli 2020, 21:26 WIB
WAKIL Ketua PA Garut, Asep Alinurdin.*/AEP HENDY/KABAR PRIANGAN /

ZONA PRIANGAN - Setiap tahunnya, jumlah angka perceraian yang terjadi di Kabupaten Garut terus mengalami penambahan.

Tingkat angka perceraian di Garut sendiri terbilang tinggi dimana setiap harinya terdapat minimal 100 perkara yang disidangkan di Pengadilan Agama (PA) Garut.

Menurut Wakil Ketua PA Garut, Asep Alinurdin, jumlah kasus perceraian di Kabupaten Garut terbilang tinggi.

Baca Juga: Gara-gara TikTok, Lagu Bagaikan Langit Viral, Dibuat juga Versi Spanyol

Pada tahun ini, hingga bulan Juni saja sudah tercatat 2.000 lebih angka perceraian. Artinya ada 2.000 janda dan duda baru.

Tingginya angka perceraian di Garut menurut Asep terutama terjadi dalam kurun 2 tahun terakhir. Per tahunnya, jumlah perkaranya bisa mencapai 5.000 sampai 6000 perkara.

"Per harinya, angka persidangan di PA Garut minimal mencapai 100 perkara. Tak heran kalau setiap majelis hakim bisa menyidangkan kasus perceraian antara 30 sampai 50 perkara," ujar Asep, Senin 6 Juli 2020.

Baca Juga: Anggota DPRD dan ASN Jalani Rapid Test Covid-19

Tingginya angka persidangan, diakui Asep membuat pihaknya cukup kewalahan. Apalagi selama ini pihaknya mengalamn kekurangan panitera pengganti dan petugas juru sita.

Majelis hakim juga hanya ada 10 orang, padahal idealnya harus ada 20 dengan perkara yang tinggi seperti yang terjadi selama ini.

Hal itulah kata Asep yang menyebabkan seringnya terjadi keterlambatan penanganan kasus perceraian selama ini.

Baca Juga: Satgas Citarum Harum Membangun Tungku Pembakaran Sampah

Apalagi yang ditangani di PA bukan hanya kasus perceraian tapi juga perkara lainnya di antaranya isbat nikah (menikah secara sah menurut agama untuk mendapatkan pengakuan dari negara) dan dispensasi nikah (perkawinan di bawah umur) meskipun angkanya tak begitu tinggi.

Dikatakan Asep, kasus perceraian di Garut mayoritas terjadi akibat faktor ekonomi. Seringnya muncul perselisihan faham menyebabkan terjadinya pertengkaran antara pasangan suami isteri.

Parahnya lagi, tutur Asep, pertengkaran yang terjadi bukan hanya sebatas percekcokan mulut akan tetapi juga sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini kian menambah besarnya peluang mereka untuk memilih bercerai.

Baca Juga: Chikungunya Mewabah, Ratusan Rumah Warga Parungsari Penuh Asap

Asep menjelaskan, kepada setiap pasangan yang mengajukan untuk bercerai, pihaknya selalu mengupayakan untuk mempertimbangkannya kembali melalui proses mediasi. Namun tingkat keberhasilan dari upaya mediasi ini dinilainya sangat kecil bahkan masih di bawah 1 persen.

"Sangat kecil kemungkinan untuk busa rujuk kembali bagi pasangan yang mengajukan gugatan cerai. Kalaupun ada yang kembali rujuk setelah dilakukan proses mediasi, hal itu sangat jarang terjadi," katanya.

Saat proses mediasi dilakukan, tambah Asep, lebih dari 80 persen baik dari pihak penggugat maupun tergugat tidak hadir. Ini juga yang menjadi kendala upaya untuk merujukan kembali mereka.

Baca Juga: Turnamen Unik, Main Voli Gunakan Bola Plastik dan Berhadiah Seekor Ayam

Diungkapkannya, rata-rata usia yang mengajukan perceraian berkisar dari 25 sampai 40 tahun. Hanya ada 2 sampai 5 persen usia 50 hingga 60 tahun yang mengajukan gugatan cerai.

Ketika ditanya apaka pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan dampak luas terhadap perekonomian berpengaruh terhadap tingginya angka perceraian, menurut Asep hal itu kurang begitu berpengaruh. Kalaupun ada pengaruhnya, tapi tak begitu signifikan karena paling hanya menyumbang sampai 2 persenan.***

Editor: Parama Ghaly

Tags

Terkini

Terpopuler