Babakansari Terkenal Sebagai Kampung Bendera, Omzet Mencapai Rp 4,5 Miliar

10 Agustus 2020, 12:57 WIB
SEJUMLAH warga sedang menjahit bendera di tempat pembuatan bendera milik Aji, di Kampung Pangkurisan, Desa Salamnunggal, Kecamatan Leles.*/AEP HENDY/KABAR PRIANGAN /

ZONA PRIANGAN - Sebutan kampung bendera sudah lama disandang oleh Kampung Babakansari, Desa Leles, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut.

Hal ini sangat wajar mengingat Kampung Babakansari selama ini telah memasok kebutuhan bendera bukan hanya untuk wilayah Garut akan tetapi juga Jawa Barat bahkan hampir seluruh daerah di pelosok nusantara.

Mayoritas warga Babakansari juga kampung lainnya di Desa Leles berprofesi sebagai perajin dan penjual bendera.

Baca Juga: Omid Nazari Sangat Menggebu untuk Merumput Bersama Persib

Tiap tahunnya, terutama menjelang Agustus, puluhan ribu kodi bendera dari daerah ini dibawa ke berbagai daerah di pelosok nusantara untuk dijual.

Bendera yang diproduksi warga Kampung Babakansari tidak hanya dijual di wilayah Garut dan daerah lainnya di Jawa Barat, akan tetapi juga dijual ke seluruh pelosok nusantara.

Bahkan setiap tahunnya, terutama menjelang Agustus, ribuan kodi bendera dari kampung ini bisa terjual di seluruh pelosok nusantara dengan omzet mencapai miliaran rupiah.

Baca Juga: Persib Gelar Latihan Tertutup, Semua Pemain Jalani Rapid Test

Namun untuk tahun ini, tingkat penjualan bendera dari Kampung Babakansari mengalami penurunan yang sangat drastis. Hal ini merupakan dampak lain dari pandemi Covid-19.

Terjadinya penurunan tingkat penjualan bendera dari Kampung Babakansari, Desa/Kecamatan Leles ini diungkapkan Kepala Desa Leles, Toni Triswandy.

Hal ini juga terjadi di wilayah Desa Leles secara keseluruhan karena perajin dan penjual bendera di daerah tersebut tersebar hampir di semua kampung.

Baca Juga: Untuk Sementara, Persib Tertinggal oleh Persija, Mana Dukungan Bobotoh?

"Untuk tahun ini terjadi penurunan tingkat penjualan bendera yang sangat signifikan. Penurunannya mencapai sekitar 50 persenan dibanding tahun-tahun sebelumnya," kata Tony saat ditemui di Kantor Desa Leles, Jumat 7 Agustus 2020.

Dikatakannya, tahun-tahun sebelumnya, omzet dari penjulan bendera dari Kampung Babakansari bisa mencapai di atas Rp 3 miliar, bahkan sampai Rp 4,5 miliar.

Namun untuk tahun ini, berada jauh di bawah Rp 3 miliar, bahkan hanya setengahnya dari tahun kemarin.

hutanBaca Juga: Hutan Mati Tidak Seseram yang Dibayangkan

Kondisi seperti ini disebutkan Tony baru terjadi pada tahun ini. Padahal tahun-tahun sebelumnya, tingkat penjualan bendera dari daerahnya ini selalu bertahan bahkan cenderung mengalami peningkatan dari sebelum-sebelumnya.

Hal ini tak terlepas dari efek pandemi Covid-19 yang berdampak sangat besar terhadap penurunan penjualan bendera.

Para pengusaha atau perajin bendera, tuturnya, untuk saat ini tak berani mengambil risiko dengan membuat bendera dalam jumlah yang banyak mengingat jumlah pesanan yang jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Baca Juga: Kawah Hujan Melancarkan Pernapasan, Bisakah Membunuh Virus Corona?

Bahkan tak sedikit pula pengrajin yang sama sekali tak berani memproduksi bendera tapi hanya menjual barang sisa tahun lalu karena tak mau mengalami kerugian.

Tony menyebutkan, akibatnya, kini jumlah warga yang menganggur di daerahnya itu bertambah banyak.

Hal ini dikarenakan banyak pengusaha yang tidak mau memproduksi bendera sehingga banyak pula warga yang kehilangan mata pencahirain karena tak menjahit bendera.

Baca Juga: Lagi Sering Terjadi Mobil Terbakar, Ini Tujuh Langkah yang Harus Dilakukan Pemilik Kendaraan

Selain itu, tak sedikit pula warga yang biasanya pergi ke luar daerah untuk berjualan bendera, saat ini lebih memilih tinggal di kampung dengan berbagai pertimbangan.

"Karena banyak pengusaha yang tak mau ambil risiko dengan tidak memproduksi bendera, tentu banyak pula warga yang kehilangan pekerjaannya terutama para penjahit," ujar Kades yang mengaku pernah juga berjualan bendera ke sejumlah daerah di nusantara ini.

Selain itu, jumlah warga yang pergi ke daerah lain untuk berjualan bendera pun tahun ini sangat berkurang karena selain pemesanan yang kurang, juga dipengaruhi pandemi Covid-19.

Baca Juga: Pemirsa Bisa Adu Akting dengan Pemain Sinetron Samudra Cinta

Warga yang sebelumnya sudah berangkat ke suatu daerah untuk berjualan bendera pun kata Tony, tak sedikit yang pada akhirnya terpaksa harus kembali.

Hal ini dikarenakan adanya aturan terkait pembatasan aktivitas di daerah yang dituju karena masuk dalam zona merah.

Bahkan tak sedikit pula masyarakat dan pemerintahan di daerah zona hijau pun yang menolak kehadiran para pedagang bendera dengan alasan untuk mencegah resiko penyebaran Covid-19 di daerahnya.

manBaca Juga: Jadi Jurnalis Mengenakan Jilbab, Amanda Rawles: Ini Pengalaman Pertama

Disebutkannya, kalaupun ada daerah yang mau menerima warga pendatang, itu pun dengan menerapkan persyaratan di antaranya harus ada surat keterangan hasil pemeriksaan rapid test.

Sedangkan biaya untuk bisa mengikuti rapid test itu sendiri terbilang mahal juga bahkan ada yang sampai harus bayar Rp 450 ribu dan ini tentu sangat memberatkan warga.

Padahal diakui Tony, untuk membantu meringankan beban warga yang ingin berangkat ke luar daerah untuk mencari nafkah dengan berjualan bendera, pihaknya telah membuatkan surat jalan, surat keterangan sehat, serta SKU.

Baca Juga: Ikke Nurjanah Kampanyekan Gizi Seimbang

Namun sayangnya, masih ada daerah yang tetap menolak kedatangan mereka sehingga pada akhirnya mereka terpaksa kembali ke kampung halaman.

"Kalaupun ada yang diterima, di sana mereka tak bisa langsung berjualan akan tetapi terlebih dahulu harus menjalani karantina selama beberapa hari. Ini tentu merepotkan juga, apalagi sisa waktu penjualan bendera kan hanya tinggal beberapa hari saja," ucap Tony.

Ia menerangkan, berdasarkan catatan yang ada, saat ini hanya ada sekitar 150 orang warga dari desa tersebut yang sudah pergi ke daerah lain untuk berjualan bendera.

Baca Juga: Korban PHK Jumlahnya Banyak, Roy: Semua Buruh Harusnya Terima BLT

Padahal biasanya, jumlah warga Desa Leles yang pergi ke daerah lain untuk berjualan bendera bisa mencapai ribuan.

Tak heran kalau sebelum-sebelumnya, ketika menjelang Agustus, yang masih berada di daerahnya kebanyakan kaum ibu dan anak-anak karena kaum laki-laki dan orang dewasa hampir semuanya pergi ke daerah lain untuk berjualan bendera.

Menurut Tony, di Desa Leles, pengusaha/pengrajin dan penjual bendera saat ini jumlahnya sangat banyak dan menyebar di hampir semua kampung.

Baca Juga: Andre: 80 Persen Masyarakat Menginginkan Prabowo Jadi Calon Presiden 2024

Namun dulunya, hanya ada dua pengusaha yakni yang berada di Kampung Babakansari dan Kampung Pangkurisan.

Sekretaris Desa Leles, Senja Husein, menambahkan munculnya pengusaha bendera di wilayah Desa Leles bermula sekitar tahun 1980-an. Saat itu, ada dua orang pencetus yakni warga Kampung Babakansari dan warga Kampung Pangkurisan.

Mereka kemudian merekrut karyawan yang kebanyakan berasal dari daerahnya masing-masing.

Baca Juga: Legenda Rakyat, Air Terjun Mursala Berasal dari Tangisan Seorang Putri

Karena kian lama jumlah pesanan kian membludak, maka mereka pun pada akhirnya membagi-bagikan pekerjaan kepada warga lainnya dan mulai saat itu, jumlah pengrajin bendera di Desa Leles terus bertambah.

"Sejarah kampung bendera memang cukup sulit untuk diperoleh mengingat orang-orang yang dulu menjadi pencetusnya jarang sekali ada di sini dan lebih sering berada di daerah lain. Namun yang saya ingat, awalnya pada tahun 1980-an ada dua orang yang menjadi pencetusnya akan tetapi saya sendiri tidak tahu nama mereka," kata Senja.

Lebih jauh diungkapkannya, usaha bendera di daerahnya ini sudah menjadi usaha turun temurun.

Baca Juga: Tim SAR Gabungan Berhasil Temukan Korban Tenggelam di Kali Muara Ciasem Kabupaten Subang

Bahkan sekitar 70 persen warga di desa tersebut mengandalkan mata pencaharaian dari membuat dan menjual bendera. Namun untuk tahun ini, akibat pandemi Covid-19, tinggal hanya sekitar 35 persen warga yang masih menggelutiu usaha tersebut.

"Kalau tahun-tahun sebelumnya, bendera dari desa ini yang dibawa untuk dijual di daerah Bandung saja mencapai ribuan kodi setiap kali menjelang Agustusan. Namun tahun sekarang sangat menurun, diperkirakan hanya 50 persennya," ujarnya.

Terjadinya penurunan tingkat penjualan bendera dari kawasan Leles, dibenarkan pula oleh Aji Juhana (45), salah seorang pengusaha bendera di Kampung Pangkurisan. Menurutnya, penurunan penjualan tahun ini diperkirakan mencapai 50 persen dari sebelum-sebelumnya.

Baca Juga: Update Harga Emas Senin 10 Agustus 2020

Bahkan diakui Aji, untuk tahun ini dirinya tidak memproduksi bendera dalam jumlah yang banyak sebagaimana biasanya.

Bendera yang dijual pun kebanyakan adalah sisa stok tahun lalu dan kalaupun memproduksi, hanya sebatas ketika ada pesanan saja.

"Kalau tahun-tahun sebelumnya, sejak awal September tahun sebelumnya, kami sudah memproduksi bendera dalam jumlah yang sangat besar guna memenuhi kebutuhan bendera pada Agustus tahun berikutnya," ungkap Aji.

Baca Juga: Kesulitan Armada, Wakil Wali Kota Cirebon Inginkan Seluruh TPS Ditutup

"Namun sekarang tidak, saya hanya menjual sisa stok tahun lalu dan baru menjahit atau memproduksi ketika da pesanan saja dan itu pun tidak sebanyak dulu," kata Aji.

Ia menjelaskan, para pengusaha bendera tentu tidak akan berani memproduksi bendera dalam jumlah yang banyak dalam situasi kondisi seperti sekarang ini.
Hal ini dikarenkan hampir 80 persen modal yang digunakan para pengusaha bendera merupakn pinjaman dari bank.

Kalau tetap memaksakan memproduksi dalam jumlah yang banyak sedangkan tingkat penjualan rendah, ini tentu akan sangat merugikan dan berisko tinggi bagi para pengusaha.

Baca Juga: Korban PHK Jumlahnya Banyak, Roy: Semua Buruh Harusnya Terima BLT

Namun demikian, Aji mengakui jika bendera hasil produksinya saat ini masih dijual berbagai daerah di seluruh pelosok nusantara.

Tak hanya di wilayah Garut dan Jawa Barat, bendera dari Leles juga masih tetap dijual ke sejumlah daerah lain di Indonesia seperti papua, Aceh, Bengkulu, Kalimantan, dan yang lainnya.

Aji menuturkan, jika tahun-tahun sebelumnya pesanan bendera untuk memenuhi kebutuhan Agustusan sudah mulai banyak sejak awal tahun, akan tetapi tahun ini pesanan baru mulai ada sejak akhir Juli kemarin.

Baca Juga: Kesulitan Armada, Wakil Wali Kota Cirebon Inginkan Seluruh TPS Ditutup

Itupun jumlah pesanan yang diterimanya tak begitu banyak.

Bahkan diakui Aji, dirinya sempat benar-benar bingung karena beberap0a waktu yang lalu stok bahan berupa kain untuk pembuatan bendera sempat kosong.

Hal ini dikarenakan pihak pabrik yang selama ini menjadi langganannya memutuskan untuk tidak memproduksi kain untuk bahan bendera karena takut tak ada yang mau membelinya.

Baca Juga: Belum Miliki Peta Wisata, Heriyanto: Cirebon Katon Hanya Slogan

"Saat itu saya benar-benar bingung takut kain bahan baku pembuatan bendera terus tak ada padahal saya kan punya cukup banyak karyawan yang tentunya harus tetap bekerja agar bisa menafkahi keluarganya. Akhirnya saya putuskan untuk berkomunikasi dengan pihak pabrik dan meyakinkan agar mereka mau memproduksi bahan untuk pembuatan bendera sehingga baru dua minggu ke belakang saya baru bisa mendapatkan bahan," ujarnya.

Masih menurut Aji, dalam situasi kondisi seperti sekarang ini, pihaknya tak terlalu memikirkan untuk bisa mearup keuntungan dalam jumlah yang besar.

Bagi dirinya saat ini, masih bisa menggaji karyawannya yag berjumlah 40 orang saja sudah sangat bersyukur. Ia mengaku tak tega jika sampai harus merumahkan karyawannya akibat menurunnya tungkat penjualan bendera yang selama ini menjadai alahan bisnis andalannya.***

Editor: Parama Ghaly

Tags

Terkini

Terpopuler