Pada 2017, tidak lama setelah China mulai menahan ribuan Muslim di Xinjiang, Rajagopalan adalah orang pertama yang mengunjungi kamp interniran pada saat China menyangkal bahwa tempat-tempat seperti itu ada.
Apa yang dilakukan oleh Rajagopalan ini mengundang reaksi keras dari pemerintah China, mereka mencoba membungkamnya, mencabut visanya dan mengeluarkannya dari negara itu.
Tapi itu tak membuat Rajagopalan patah arang. Ia kemudian bermitra dengan dua kontributor, Alison Killing, seorang arsitek berlisensi yang mengkhususkan diri dalam analisis forensik arsitektur dan citra satelit bangunan, dan Christo Buschek, seorang programmer yang membangun alat yang disesuaikan untuk jurnalis data.
Ketiganya berangkat untuk menganalisis ribuan citra satelit wilayah Xinjiang, wilayah yang lebih luas daripada Alaska, untuk mencoba menjawab pertanyaan sederhana,'Di mana pejabat China menahan sebanyak 1 juta orang Uyghur, Kazakh, dan minoritas Muslim lainnya?'.
Selama berbulan-bulan, ketiganya membandingkan gambar China yang disensor dengan perangkat lunak pemetaan tanpa sensor. Mereka mulai dengan kumpulan data yang sangat besar dari 50.000 lokasi.
Baca Juga: Foto Permukaan Mars dengan Resolusi Tinggi Jadi Viral
Buschek membuat alat khusus untuk menyortir gambar-gambar itu. Kemudian, tim harus memeriksa ribuan gambar satu per satu, memverifikasi banyak situs dengan bukti lain yang tersedia.
Mereka akhirnya mengidentifikasi lebih dari 260 bangunan yang tampaknya merupakan kamp penahanan yang dibentengi. Beberapa situs mampu menampung lebih dari 10.000 orang dan banyak pabrik-pabrik di mana para tahanan dipaksa bekerja.
Pelaporan teknologi yang inovatif, juga disertai dengan jurnalisme kuno "kulit sepatu" yang ekstensif.