Tetapi, jika dilihat dari latar pendidikan formalnya ternyata jauh berbeda.
“Rata-rata berpendidikan rendah. SD atau SMP. Tetapi soal bagaimana membuat kapal, yang kemudian dihargai hingga lima miliaran rupiah itu, mereka sudah terbiasa,” ujar pengamat kemaritiman Indramayu, Dartono.
Selama ini terlihat tidak ada campur tangan insinyur perkapalan atau dari akademisi dan teknisi.
Baca Juga: Satu Keluarga Terpapar Covid-19, Bukan di Desa Cinunuk tapi di Desa Cibiru Wetan
Mereka murni berinovasi sendiri, atau hasil obrolan bersama juragan pemesan kapal. Dalam tiap periode tertentu selalu ada inovasi dalam pembuatan kapal.
Terlihat dari bentuk-bentuk bagian dasar kapal yang melebar, atau agak lancip, atau makin lancip.
Demikian pula pada bagian di atas geladaknya. Inovasi ini merupakan penyesuaian terhadap alam, baik adaptasi dengan lumpur muara ataupun angin, ombak, dan gelombang samudera.
Baca Juga: Teknik Kontrol Gas dan Pengereman Pengaruhi Keselamatan di Jalan
Inovasi juga merambah hingga wilayah teknologi, seperti adanya mesin penarik jaring, satelit, radio komunikasi, radar pemantau ikan, dan ruang pendingin.
Inovasi itu dimulai sejak dasawarsa 1990-an. Seorang tokoh nelayan, H. Cartisa, mengawali inovasi itu dengan pembuatan kapal yang dikerjakan di sungai yang jauh dari muara Karangsong.
Saat itu dianggap mengada-ada, karena dianggap akan sulit dan berat jika kapal ditarik ke laut.