Malaysia adalah negara monarki konstitusional, dengan pengaturan unik yang membuat takhta berpindah tangan setiap lima tahun sekali di antara para penguasa sembilan negara bagian Malaysia yang dikepalai oleh bangsawan Islam yang telah berusia berabad-abad.
Namun, meskipun lebih bersifat seremonial, posisi raja dalam beberapa tahun terakhir memainkan peran yang semakin penting.
Campur tangan kerajaan telah diperlukan untuk menunjuk perdana menteri sebanyak tiga kali setelah runtuhnya pemerintahan dan parlemen yang menggantung pasca pemilu dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam sebuah wawancara dengan The Straits Times Singapura pada bulan Desember, Ibrahim mengatakan bahwa ia tidak tertarik untuk menjadi "raja boneka".
"Ada 222 orang (anggota parlemen) di Parlemen. Ada lebih dari 30 juta (penduduk) di luar. Saya tidak bersama Anda, saya bersama mereka," katanya seperti dikutip di surat kabar.
"Saya akan mendukung pemerintah, tetapi jika saya pikir mereka melakukan sesuatu yang tidak benar, saya akan memberi tahu mereka."
Raja juga memegang kekuasaan untuk mengampuni. Pada tahun 2018, Sultan Muhammad V, salah satu pendahulu Ibrahim, mengampuni Anwar, yang telah menjalani hukuman penjara atas kasus sodomi.
Peran raja di Malaysia memiliki prestise yang cukup besar, terutama di antara mayoritas Muslim Melayu di negara ini.