Antisipasi Pelanggaran Kampanye di Media Sosial, Bawaslu RI akan Kerja Sama dengan Media Platform

20 Oktober 2022, 07:11 WIB
Antisipasi Pelanggaran Kampanye di Media Sosial, Bawaslu RI akan Kerja Sama dengan Media Platform. /ZonaPriangan/Yurri Erfansyah/

ZONA PRIANGAN - Potensi kecurangan dan ujaran kebencian dalam Pemilihan Umum (Pemilu) utamanya pada saat tahapan Pemilu terus diupayakan diantisipasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jawa Barat.

Terlebih saat ini metode kampanye mulai merambah ke media online atau siber terutama media sosial (medsos).

Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyakarat (P2M) Bawaslu Jabar, Zaki Hilmi mengatakan, potensi pelanggaran dapat dilihat dari dua hal yakni pelanggaran administratif dan pidana. Kedua hal itu pun dapat mengenai peserta Pemilu yang resmi maupun masyarakat umum.

Baca Juga: Kebocoran Membanjiri Facebook, dari Mulai Misinformasi Pemilu hingga Tidak Ramah Anak

"Saya memiliki pengalaman terkait hal tersebut seperti peristiwa emak-emak yang viral belum lama ini. Walaupun dari segi hukum pidana telah ditangani oleh kepolisan unit khusus cyber crime atau kejahatan siber," ujar Zaki saat kegiatan Sosialisasi Pengawasan Siber dalam Pengawas Pemilu 2024 Bersama Media di Hotel Papandayan, Kota Bandung, Selasa 18 Oktober 2022.

Lebih lanjut Zaki mengatakan, dalam konteks pelanggaran ini karena tren penggunaan medsos semakin kuat maka kampanye akan lebih banyak dilakukan menggunakan media sebagai ajang kampanye yang efektif.

"Kami tak menampik bahwa saat ini memiliki keterbatasan dalam hal informasi teknologi terutama untuk menulusuri akun-akun media sosial yang bersifat anonim," paparnya.

Baca Juga: Refly Harun: Jika Pemerintahan Jokowi Mencari yang Bisa Amankan Pemilu 2024, Sosok Andika Perkasa Tidak Tepat

Oleh karena itu, lanjut Zaki, Bawaslu RI akan berkoordinasi kerja sama dengan media sosial platform yang sudah ada seperti Instagram, Facebook, dan lainnya agar pelanggaran kampanye di medsos dapat diantisipasi.

"Kita menyadari betul hambatan ruang kebebasan ekspresi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu dengan konteks penggunaan medsos beda tipis. Misalkan peserta pemilu belum ada tapi sudah ada pandangan atau stigma negatif terhadap orang yang baru menjadi bakal calon," ungkapnya.

Selain itu, jelas Zaki, Bawaslu juga memiliki keterbatasan regulasi dalam hal penindakan secara tegas soal terhadap pelaku pelanggaran ujaran kebencian pada medsos atau media mainstrem.

Baca Juga: Amien Rais Khawatir Jokowi Lengser, Ngabalin: Jangan Sampai Pa Tua Ini Meninggal Sebelum Pemilu 2024

"Misalkan tabloid Indonesia Barokah itu tiba-tiba ada. Makanya kita tidak bisa menindak sepihak, kita koordinasi dengan dewan pers untuk mengkatagorikan, apakah yang meanstrem seperti itu masuk dalam karya jurnalis atau tidak," tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ahmad Fauzi atau akrab dipanggil Ray Rangkuti menilai model kampanye di masa yang akan datang akan menggunakan siber dari pada media ruang.

"Media ruang akan ditinggalkan oleh hampir semua peserta Pemilu meski pun secara verbal yang diakui di dalam Pemilu kita itu adalah yang media ruang," katanya.

Baca Juga: Pemerhati Politik: Puan Maharani Mewakili Perempuan di Pilpres 2024

Ray mengatakan, media ruang itu biayanya besar, efeknya tidak terlalu banyak kepada masyarakat, tidak membangun emosi caleg dan para penyidik.

"Transisi kampanye ke media siber akan dipilih karena tidak memerlukan biaya yang besar, daya jangkau luar biasa, data tahan lebih lama bahkan hingga tahun 2024," jelasnya.

Apalagi, lanjut Ray, kampanye di media siber tidak membutuhkan narasi yang panjang dan memiliki kecendrungan kritisme yang mendahului.

Baca Juga: Keakraban Anies dan Emil di Stadion JIS, Ada yang Berkomentar: Bismillah RI 1 dan RI 2 Tahun 2024

"Jadi orang hanya baca yang hebohnya saja, soal benar atau tidak orang tidak baca," terangnya.

Terkait hal itu, Ray menyoroti masalah yang mungkin bisa terjadi dalam kampanye media siber.

"Kampanye di media sosial memiliki kecenderungan negatif, hoaks, dan politik identitas," paparnya.

Menurut Ray, tantangan saat ini yang terberatnya itu hoaks dan politik identitas.

"Kalau negatif campaign itu bagus-bagus saja, itu tradisi yang harus kita tumbuhkan cuman sekarang ini ada pengaburan terhadap definisi negatif campaign menjadi hoaks dan politik identitas, bahkan turun ke black campaign, itu sesuatu yang salah," sambungnya.

Terkait hal itu, Ray berharap, Bawaslu Jabar sebagai garda terdepan bisa menjadi mata semua publik dalam konteks mensubtansi isi kampanye.

"Sehingga, kampanye dengan media siber lebih banyak berisi positif dibanding negatif, black campaign, politik identitas, maupun hoaks," pungkasnya.***

Editor: Yurri Erfansyah

Tags

Terkini

Terpopuler