Sementara hepatitis B dan C cenderung lebih berat dan bisa lanjut menjadi kronis. Pada beberapa kasus bisa meningkat menjadi sirosis berupa kerusakan organ hati. Hal ini kemudian memicu kanker pada penderitanya.
Meski demikian, penderita hepatitis B dan C bisa sembuh melalui pengobatan yang terus berkembang. Sementara hepatitis D dan E seringnya menempel atau koinsiden pada hepatitis A, B, dan C. Karena itu, dua hepatitis ini jarang dilakukan pemeriksaan.
Hingga saat ini, baru hepatitis A dan B yang sudah memiliki vaksin. Bahkan, vaksinasi hepatitis B sudah masuk program imunisasi nasional, sehingga bisa diperoleh di tingkat layanan kesehatan primer secara gratis. Meskipun belum diketahui apakah dua jenis vaksin tersebut bisa mencegah penularan hepatitis misterius, Prof. Dwi menegaskan bahwa vaksinasi hepatitis tetap wajib dilakukan.
Higienis nomor satu karena salah satunya ditularkan melalui pola hidup yang tidak sehat, Prof. Dwi mengingatkan masyarakat untuk menerapkan pola hidup higienis dan sering menjaga kebersihan tubuh. Utamanya adalah menjaga kebersihan tangan.
Kendati demikian, masyarakat Indonesia telah banyak belajar menjaga kebersihan dari pandemi Covid-19, sehingga hal ini dapat memperkuat kewaspadaan masyarakat dalam menghindarkan diri dari penularan hepatitis misterius.
"Masyarakat sudah punya pengalaman tentang hidup sehat dari Covid-19. Ini salah satu cara mencegahnya," katanya.
Lebih lanjut Prof. Dwi menyarankan, jika terindikasi tertular untuk segera memeriksakan diri ke layanan kesehatan.
Ciri umum yang mudah terlihat dari hepatitis, tambah Prof. Dwi, adalah mata dan kulit yang menguning, warna urine kuning pekat, hingga memiliki gejala demam, mual, dan muntah.