Pencucian Uang Bisa Hancurkan Integritas Sistem Keuangan, Dian Ediana Rae: Bisa Ganggu Investasi dan Ekonomi

- 31 Mei 2021, 00:05 WIB
Pencucian Uang Bisa Hancurkan Integritas Sistem Keuangan, Dian Ediana Rae: Bisa Ganggu Investasi dan Ekonomi.
Pencucian Uang Bisa Hancurkan Integritas Sistem Keuangan, Dian Ediana Rae: Bisa Ganggu Investasi dan Ekonomi. /Pixabay/ Steve PB/

ZONA PRIANGAN - Tindak pidana pencucian uang sangat terkait dengan peraturan pemerintah atau PP no 61 tahun 2021 yang merupakan perubahan dari PP 43 tahun 2015 tentang pihak pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Hal ini seperti disampaikan oleh Direktur Eksekutif Hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dr. Ary Zulfikar, SH, MH, yang juga selaku Ketua Umum Perkumpulan Bumi Alumni (PBA), saat menyampaikan sambutan dan membuka acara webinar dengan tema “Perang Global Melawan Pencucian Uang” pada Jumat, 28 Mei 2021.

“PP tersebut erat kaitannya dengan pihak pelaporan harta kekayaan yang patut diduga berasal dari suatu tindak pidana dan prinsip yang digunakan dalam UU TPPU untuk mengenali apa yang dimaksud dengan transaksi keuangan yang mencurigakan,” ungkapnya.

Baca Juga: Ridwan Kamil Minta OJK dan Bank Indonesia Jabar untuk Lebih Meningkatkan Literasi Keuangan Digital Masyatakat

Lebih lanjut Ary menjelaskan, apa yang dimaksud dengan transaksi keuangan mencurigakan?

Dalam pasal 1 Angka 5 UU TPPU mendefinisikan ada 4, salah satunya adalah jika terjadi transaksi keuangan tidak sesuai profil atau karakteristik kebiasaan pola transaksi pengguna jasa.

Filosofi dari UU TPPU adalah penerapan prinsip mengenali pengguna jasa. Setiap penyedia dan pengguna jasa harus memahami prinsip tersebut.

Baca Juga: Menteri Keuangan Sri Mulyani Berbohong, THR Tadinya akan Dibayar Full, Kini Dipotong Menjadi Tanpa Tunjangan

“Kami di LPS seringkali melakukan penyelidikan suatu tindak pidana, tapi seringkali penyelidikan dilakukan setelah kerugian itu terjadi. Jadi sering kita melakukan penyelidikan setelah bank tersebut telah mengalami kerugian,” paparnya.

Dengan adanya kegiatan pelaporan, pada dasarnya dapat mencegah tindak pidana itu sendiri, karena pelaku tindak pidana pada akhirnya tidak dapat menggunakan hasil kejahatan atau menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidanannya tersebut.

Berdasarkan UU TPPU ada sekitar 26 tindak pidana yang secara defintif disebutkan, termasuk pencurian, penyuapan, korupsi dibidang perbankan, pemalsuan uang, penipuan dan sebagainya.

Baca Juga: Tingkatkan Inklusi Keuangan Masyarakat Menengah ke Bawah dengan Cek Legalitas Gadai Sebelum Pinjam Dana

Pasal 17 ayat 2 UU TPPU menyatakan bahwa ketentuan pihak pelapor diatur dalam PP, maka lahirlah PP 43 sebagaimana diubah dengan PP 61 tahun 2021, yang menyebutkan secara rinci mengenai cakupan pihak pelapor yang memiliki kewajiban pelaporan.

Perbedaannya, dalam PP 61 ada tambahan, bahwa pihak pelapor mencakup juga antara lain penyedia jasa yang juga memberikan layanan pinjol, penyedia layanan saham berbasis teknologi informasi, penyedia jasa layanan keuangan berbasis teknologi informasi.

“Pinjol itu bagian dari penyedia jasa yang memang diwajibkan sebagai pihak pelapor,” ujarnya.

Baca Juga: Ternyata Orang Indonesia yang Melek Keuangan Baru Capai 38 Persen, Sebabkan Kontribusi Ekonomi Tak Optimal

Tugas LPS berdasarkan UU 24 Tahun 2004 adalah menjalankan fungsi penjaminan simpanan nasabah penyimpan, dan turut aktif dalam memelihara sistem perbankan dengan melakukan kegiatan resolusi bank untuk meminimalkan kerugian akibat penyalahgunaan yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus atau staff bank yang merugikan bank.

Dalam kegiatan resolusi, termasuk melakukan upaya meminimalkan kerugian bank. Oleh karenanya dulu fungsi dan tugas LPS disebut sebagai loss minimizer.

"Namun saat ini, saat pandemi, LPS juga dituntut untuk menjadi risk minimizer, yaitu melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kegagalan bank," jelasnya.

Baca Juga: Dukung Inklusi Keuangan Indonesia, Amar Bank Jangkau Masyarakat dengan Produk Keuangan Digital

Dalam konteks penanganan bank BPR bermasalah menurut Ary, LPS melakukan due diligence, termasuk menengarai apakah ada perbuatan yang dilakukan oleh pemegang saham, direksi, komisaris maupun staf yang merugikan bank yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana umum.

Dalam melakukan investigasi itu, LPS juga selalu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, termasuk dengan PPATK.

Sementara Ketua PPATK, Dr. Dian Ediana Rae, SH LLM dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahayanya dampak tindak pidana pencucian uang jika tidak tertangani dengan baik.

Baca Juga: Taman Walt Disney Sulit Keuangan, 28.000 Pekerja Kena PHK

“Pencucian uang bahayanya sebesar apa sih,” ujarnya.

Ia mengambil contoh seperti yang sering diperlihatkan dalam film-film, misalnya narko meksiko, narko Columbia ya, hasil penjualan narkoba dicuci uangnya sampai sedemikian besar berpengaruh dalam berbagai sendi kehidupan. Kehidupan sosial, ekonomi, politik masyarakat.

“Bahkan sampai sekarang kolombia dan meksiko tidak bisa lepas dari narkoba dan traficking, uang hasil kejahatan narkoba tidak bisa dikendalikan akhirnya, negara itu tidak bisa dikendalikan,” katanya.

Baca Juga: Kesulitan Keuangan, Aberdeen Mengumumkan Paket Pemotongan Gaji Pemain

Bahkan di sana itu, tidak ada politikus yang bebas dari narkoba, karena mereka itu bisa menjadi politisi naik dengan pembiayaan uang hasil narkoba.

“Apakah Indonesia punya potensi seperti itu? Mari kita renungkan bersama,” ujarnya.

Data dari BNN, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai angka 5 juta, yang terkait dengan misalnya hasil analisis PPATK bahwa transaksi narkoba mencapai triliunan.

Baca Juga: Huawei Melaporkan Hasil Keuangan yang Positif

Kalau itu terus berkembang, pencucian uang berjalan massif bisa dipastikan akan berpengaruh kepada yang lain.

Jika memasuki dunia politik, lanjut Dian, akan menjadi hal yang sulit untuk dicegah, hal tersebut yang harus diperhatikan.

“Dampak tindak pidana kejahatan pencucian uang memang sangat luar biasa. Belum lagi hasil korupsi juga sudah sangat besar, jangan jangan mencapai ratusan triliun, kejahatan illegal loging, illegal mining, illegal fishing dan macam-macam itu kemudian diakumulasikan tidak sedikit jumlahnya,” tuturnya.

Baca Juga: Komisi II Fokus dalam Pemulihan Ekonomi di Jabar, Yunandar: Tidak Semua Bidang Terkena Refocusing

Menurutnya, dampak pencucian uang juga akan merusak integritas sistem keuangan kita, jika pencucian uang tidak terdeteksi, maka akan mengganggu hal lain, investasi terganggu, ekonomi terganggu.

“Bayangkan, misalnya ada orang yang bisnis dengan susah payah, pinjam uang susah, nah di sisi lain ada orang orang yang dibiayai dari dana hasil pencucian uang,” jelasnya.

Sekarang ini, menurut Dian, modus dan cara melakukan pencucian uang makin canggih. Penyamaran transaksi, rekayasa keuangan dan sebagainya dilakukan dengan cara-cara yang semakin rumit dan kompleks.

Baca Juga: 2022 Target Landmark Pariwisata di Jatigede Selesai, Ridwan Kamil: Geliatkan Ekonomi Masyarakat Sumedang

“Ini adalah tipikal money laundering,” jelasnya.

Dalam kasus narkoba misalnya, sudah pasti melibatkan transaksi keuangan trans nasional/trans border. Melibatkan organisasi kriminal antar negara yang satu sama lain saling terkait.

Demikian juga money laundering hasil korupsi, kalau dulu sederhana saja, uang hasil korupsi ditaruh di bank. Sekarang menurut Dr. Dian sudah lebih kompleks dan dinamis, karena melibatkan professional money laundering.

Baca Juga: Pulihkan Ekonomi dan Penuhi Kebutuhan Pangan Dikala Pandemi, KPED Jabar Gencarkan Urban Farming 1.000 Masjid

“Misalnya mereka pergi ke kasino di luar negeri, tidak benar benar bermain judi, namun menerima uang dari hasil korupsi,“ jelasnya.

Biasanya ada kerjasama dengan konsultan professional yang menyarankan dan menyamarkan menerima uang hasil korupsi, namun tetap terlihat clean secara hukum dan finansial.

”PPATK sangat concern dengan para pelaku money laundering karena memang dampaknya sangat berbahaya terhadap integritas keuangan dan perekonomian,” paparnya.

Baca Juga: Jabar Bekerja Sama dengan Masyarakat Muslim NTT Siap Cetak Hafidz dan Bantu Ekonomi dengan Beli 1.000 Sapi

Terkait dengan bahayanya tindak pidana pencucian uang yang sampaikan Ketua PPATK, Panelis webinar Yudianta Simbolon SH, MHum menyampaikan, tidak salah jika kasus tersebut termasuk dalam extra ordinary crime.

Mengingat pelakunya, jaringan dan dampaknya bisa melibatkan berbagai pihak, seperti kalangan internal perbankan, aparat penegak hukum, termasuk politisi dan professional money laundering.

Sementara Defrizal Djamaris SH, CTL menyampaikan, dalam kasus pencucian uang global biasanya ada tiga tahapan, tahap pertama adalah placement/penempatan dana di dalam maupun di luar negeri dari hasil kejahatan, tahap kedua adalah layering/menyamarkan dengan berbagi cara, ketiga adalah integrasi, bagaimana uang yang disamarkan disimpan dalam rekening pelaku.

Baca Juga: Berjuang Lawan Kesulitan Ekonomi, Ridwan Kamil Serahkan Rumah dan Motor bagi Pahlawan Covid-19 di Jabar

“Inilah yang sering terjadi dalam proses pencucian uang,” ungkapnya.

Webinar ini diadakan oleh PBA, merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk penguatan jejaring ekonomi kerakyatan dan memayungi pelaku bisnis UMKM maupun non-UMKM yang berbasis komunitas, bekerja sama dengan WorldwideQuality Assurance (WQA), badan sertifikasi internasional yang berpusat di Inggris, melalui kantor regional office WQA Asia Pasific di Jakarta dana bersama Rumah Inovasi.

Dalam webinar menghadirkan nara sumber dan juga pembicara utama Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae, dengan panelis Yudianta Simbolon SH, MHum dan Defrizal Djamaris SH, CTL dari Tim Advokasi dan Bantuan Hukum PBA.***

Editor: Yurri Erfansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah