Dia mencontohkan saat mau menulis tentang kondisi perekonomian Indonesia di masa pandemi, wartawan itu bisa saja menanyakan hal ini kepada seorang pemilik warung.
"Tapi, pasti pemilik warung itu akan bicara seputar bisnis warungnya saja, seputar pembelinya yang turun dan sebagainya. Tapi, itu kan tidak bisa dijadikan narasumber untuk materi tulisannya. Yang layak menyampaikan pendapat soal itu adalah para pengamat dan pakar-pakar ekonomi serta akademisi yang memiliki keilmuan di bidang ekonomi," paparnya.
Hal-hal seperti ini harus bisa dibaca oleh wartawan namun sayangnya, Satrio melihat dalam dunia media saat ini banyak para pekerja pers yang hanya bisa menulis berita saja tanpa memahami dan tau etika jurnalistik.
"Jadi, mereka belum bisa disebut sebagai wartawan profesional karena belum menerapkan prinsip-prinsip jurnalistik secara pas," tukasnya.
Baca Juga: Terkait Rencana Pelabelan BPA Free Galon Guna Ulang, Kemenko Perekonomian Minta BPOM Kaji Ulang
Celakanya lagi, menurut beberapa pengamat media, saat ini tidak ada penanda yang jelas antara tulisan hasil karya jurnalisme atau tulisan berbayar (advertorial).
Contohnya beberapa media besar hanya menuliskan ‘Info’ di akhir tulisan berbayar.
Media lain bahkan tidak banyak yang tidak memberikan penanda sama sekali sehingga pembaca tidak tahu apakah ini berita organik (murni) atau berita komersial berbayar.